Rabu, 29 April 2009

Minggu, 26 April 2009

PENERAPAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN

PENERAPAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN
DALAM MENCAPAI SUKSES DAKWAH
Oleh : H. Muhazzab Said

Abstrak : Pada awalnya diketahui bahwa manajemen, baik sebagai seni (art), maupun sebagai ilmu (science) tumbuh dan berkembang di kalangan dunia industri dan perusahaan (business). Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya manajemen ternyata sangat diperlukan dan bermanfaat bagi setiap usaha dalam pelbagai lapangan, apalagi di zaman modern sekarang ini boleh dikatakan bahwa tidak ada suatu usaha yang bisa sukses tanpa menerapkan manajemen. Maka usaha dakwah yang jangkauannya sangat luas dan kompleks dibandingkan dengan usaha atau kegiatan bisnis, tentulah tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien apabila tidak dengan memanfaatkan manajemen. Oleh karena itu, apabila dakwah sebagai sarana penyiaran ajaran Islam di tengah-tengah kehidupan manusia, maka dalam pelaksanaannya tidak bisa hanya dengan mengandalkan secara orang perseorangan tetapi hendaknya dilakukan melalui kerjasama dalam organisasi modern dengan mengikuti prinsip-prinsip manajemen yang baik.
Kata kunci : Manajemen, Dakwah
Al-Qur’an al-Karim adalah suatu kitab dakwah yang mencakup sekian banyak permasalahan atau unsur dakwah, seperti da’i (pemberi dakwah), mad’uw (penerima dakwah), da’wah (unsur-unsur dakwah), metode dakwah dan cara-cara penyampaiannya (M. Quraish Shihab, 1992:193) . Al-Qur’an juga secara imperatif menyuruh setiap muslim untuk menyeru umat manusia ke jalan Tuhan dengan bijaksana, dengan nasehat yang baik, dan dengan argumentasi yang tepat (QS.al-Nahl [16]: 125).
Ayat ini menunjukkan kepada kita cara-cara yang baik untuk mengajak hamba-hamba Allah ke jalan-Nya, dan tidak ada sedikit pun konotasi bahwa dakwah ila Allah atau dakwah ala sabilillah dianjurkan lewat paksaan, apalagi kekerasan (M. Amin Rais, 1991:24).
Al-Qur’an juga menerangkan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi ini, dengan tugas mengelola kehidupan dunia sesuai dengan kehendak-Nya. Dalam tugas kekhalifahan itulah dakwah menjadi bagian yang paling esensial, karena perubahan, perbaikan, dan pembaharuan masyarakat hanya dapat terlaksna jika setiap muslim secara individual atau kolektif melalui organisasi bersedia melakukan dakwah secara efektif.
Menurut teori manajemen, bahwa keberhasilan dalam mencapai tujuan haruslah melalui proses kerjasama, sebagaimana yang dikemukakan oleh H. Koontz dan O’Donnel dalam Soewarno Handayaningrat (1988:19) bahwa “manajemen berhubungan dengan pencapaian tujuan yang dilakukan melalui dan dengan kerjasama dengan orang lain”.
Bila dikaitkan dengan proses pencapaian dakwah sebagai suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang, maka prinsip-prinsip manajemen harus diterapkan. Dengan demikian yang menjadi masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam usaha mencapai sukses dakwah. Diharapkan dengan tulisan ini para pembaca khususnya para pelaku dakwah baik secara individual maupun secara oragnisasional dapat memahami pentingnya penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam upaya mencapai sukses dakwah secara optimal.
Fungsi-fungsi Manajemen
Kata manajemen berasal dari bahasa Inggris, dari kata to manage, yang sinonimnya antara lain to hand, yang berarti mengurus, to control artinya memeriksa, to guide, memimpin. Jadi apabila hanya dilihat dari asal katanya, manajemen berarti pengurusan, pengendalian, memimpin, atau membimbing (Mochtar Effendy, 1996:9).
Adapun pengertian manajemen secara luas cukup beragam pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, antara laian :
1. George R Terry (1961: 32) mengemukakan bahwa “ Manajemen adalah suatu proses yang membedakan atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pelaksanaan, dan pengawasan, dengan memanfaatkan baik ilmu maupun seni agar dapat menyelesaikan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya”.
2. Dr. R. Makharita (dalam Handayaningrat, 1988: 19), “Manajemen adalah pemanfaatan
sumber-sumber yang tersedia atau yang berpotensial di dalam pencapaian tujuan”. Adapun yang dimaksud sumber-sumber yang tersedia dan berpotensial dalam definisi kedua ini adalah kombinasi unsur-unsur manusia (men), barang (material), uang (money), mesin (machine), dan metode (methode) yang dapat disingkat menjadi 5M.
Memperhatikan kedua macam definisi manajemen tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa pada definisi pertama manajemen dipandang sebagai suatu proses mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pelaksanaan, sampai pada pengawasannya. Dalam hal ini terlihat betapa pentingnya proses tersebut ditempatkan dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Adapun definisi kedua menitikberatkan mencari kombinasi yang terbaik dan efisien dari 5M itu agar organisasi menjadi tepat guna dan berdaya guna.
Sebagian ahli menyebutkan bahwa konsepsi manajemen melalui pendekatan disebut unsur-unsur (element) manajemen, dan sebagian yang lain menyebutnya fungsi-fungsi manajemen, dan istilah yang terakhir ini yang digunakan penulis dalam tulisan ini.
Selain pengistilahan yang masih berbeda, tampaknya juga belum ada kesepakatan pendapat di antara para pakar manajemen mengenai berapa jumlah fungasi manajemen itu. Mereka mempunyai pandangan yang berbeda, tergantung pada titik pandang penekanan mengenai fungsi-fungsi yang ditinjolkan. Meskipun demikian, dari berbagai perbedaan itu dapat diketahui adanya kesamaan tujuan, yaitu efisiensi.
Uraian berikut akan dikemukakan beberapa pendapat mengenai fungsi-fungsi manajemen, antara lain :
1. William H. Newman dalam Handayaningrat (1988:10) memberikan akronimn POASCO, yaitu :
a. Planning (perencanaan)
b. Organizing (pengorganisaisian)
c. Asembling reosurce (pengumpulan sumber)
d. Supervising (pengendalian kerja)
e. Controling (pengawasan).

2. H. Koontz dan O’Donnel, dengan akronim POSDICO berpendapat bahwa fungsi-fungsi manajemen terdiri atas :
a. Planning (perencanaan)
b. Organizing (pengorganisasian)
c. Staffing (penyusunan staf)
d. Directing (pembinaan kerja)
e. Controling (pengawasan).

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas, maka dalam tulisan ini akan dikemukakan fungsi-fungsi manajemen menurut pendapat George R. Terry sebagai pembahasan, mengingat bahwa pendapat ini lebih populer di kalangan masyarakat.
1). Planning (perencanaan)
Menurut Sondang P.Siagian (1996:108) perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuann secara matang dari hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan yang akan ditentukan. Perencanaan juga merupakan tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil yang ditentukan dalam jangka ruang dan waktu. Alhasil, perencanaan merupakan proses pemikiran, baik secara garis besar maupun secara mendetail dari suatu kegiatan yang dilakukan untuk mencapai kepastian yang paling baik dan ekonomis.
Dan suatu perencanaan yang dapat diharapkan mencapai hasil yang maksimal apabila berisi pelbagai kegiatan, mulai forecasting, objectives, policies, programes, schedules, procedures, dan budget (Mochtar Efendy, 1996: 9).
Pertama, forecasting adalah suatu taksiran atau perkiraan yang sistematis tentang sesuatu yang akan terjadi berdasarkan fakta yang ada.
Kedua, objectives diartikan sebagai tujuan, yaitu nilai-nilai yang akan dicapai atau diingini oleh organisasi. Suatu organisiasi haruslah mempunyai tujuan yang jelas, karena dengan tujuan yang jelas dapat diketahui oleh semua orang yang terlibat dalam organisasi sehingga mereka dapat berpartisipasi dengan penuh kesadaran.
Ketiga, policies yakni rencana kegiatan yang diadakan untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang berulang-ulang. Suatu policy yang baik haruslah mantap (stabil), dapat dimengerti, mudah diamati (observe) agar para pelaksana tidak bingung dalam melaksanakannya. Di samping itu, policy merupakan keputusan yang positif sebagai suatu perintah yang harus dipatuhi (imperative) oleh seluruh jajaran di dalam organisiasi secara vertikal ke bawah.
Keempat, programmes adalah sederetan kegiatan yang digambarkan dalam mencapai tujuan. Suatu program dimaksudkan untuk menentukan kegiatan-kegiatan secara bertahap. Karena itu, sangat terkait dengan waktu dan ruang karena ia berpangkal dan berkelanjutan serta mempunyai titik ujung yang menunjukkan bahwa program itu berakhir.
Kelima, Schedules yaitu pembagian program berdasarkan waktu tertentu yang menunjukkan sesuatu kegiatan harus diselesaikan. Karena itu, biasanya schedules merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program. Oleh karena schedules merupakan bagian dari program yang berkaitan dengan waktu, maka dalam keadaan terpaksa schedules dapat sewaktu-waktu berubah dalam arti dimajukan atau dimundurkan, tetapi program dan tujuan tidak berubah.
Keenam, procedures adalah suatu gambaran sifat dan metode untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Perbedaannya dengan program ialah program menyatakan tentang apa yang harus dikerjakan, tetapi prosedure berbicara tentang bagaimana melaksanakannya.
Ketujuh, budget ialah perkiraan atau taksiran biaya yang harus dikeluarkan di satu pihak, dan pendapatan (income) yang diharapkan diperoleh pada masa datang di pihak lain.
2). Organizing (Pengorganisasian)
Pengorganisasian adalah penentuan, pengelompokan, dan pengaturan berbagai kegiatan yang perlu, menetapkan struktur formal dari kewenangan di mana pekrjaan dibagi-bagi sedemikian rupa, ditentukan, dan dikoordinasikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3). Actuating (Penggerakan)
Penggerakan pelaksanaan adalah usaha agar semua anggota kelompok suka melaksanakan tercapainya tujuan dengan kesadarannya sendiri dan tetap berpedoman kepada perencanaan (planning) dan usaha pengorganisasiannya.
4) Controling (Pengawasan)
Dalam buku petunjuk pelaksanaan penyebarluasan pengertian dan kesadaran pengawasan melalui jalur agama yang dikeluarkan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama RI, memberikan pengertian bahwa pengawasan adalah proses pengamatan terhadap pelaksanaan seluruh bagian organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan berjalan sesuai dengan rencana, ketentuan, dan kebijakan yang ditetapkan (1995/1996:13).
Pengawasan juga dimaksudkan sebagai tindakan penilaian/perbaikan terhadap bawahan untuk menjamin agar pelaksanaan tugas sesuai dengan rencana. Jadi, penilaiannya apakah hasil pelaksanaannya tidak bertentangan dengan sasaran (goals) dan rencananya (plans). Bila terlihat adanya penyimpangan-penyimpangan perlu segera diadakan perbaikan.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas mengenai manajemen dan fungsi- fungsinya, maka dapatlah disimpulkan bahwa manajemen adalah segenap perbuatan menggerakkan sekelompok orang/pelaksana dan mengintegrasikan segenap sarana dan prasarana dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan tertentu.

Penerapan Fungsi-fungsi Manajemen dalam Dakwah
Dakwah adalah segenap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat Islam. Oleh karena itu, dakwah juga berarti Islamisasi seluruh kehidupan manusia (Amin Rais, 1991 :25). Dengan demikian, perintah dakwah (dakwah bi al-qalam, dakwah bi al-lisan, dan dakwah bi al-hal) merupakan kewajiban bagi setiap individu muslim dan muslimat menuurut kesanggupan dan kemampuannya masing-masing di manapun mereka berada
Dari dasar pemikiran di atas, terlihat betapa urgennya dakwah dalam upaya menyebarluaskan Islam di tengah-tengah kehidupan manausia, demi tercapainya kemasalahatan dan kebahagiaan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat.
Dakwah sebagai agen perubahan, perbaikan, dan pembaharuan, makanya dakwah tidak mungkin dapat dilakukan hanya oleh orang seorang saja secara sendiri-sendiri dan secara sambil lalu, tetapi harus diselenggarakan oleh para pelaksana dakwah dengan cara bekerjasama dalam kesatuan-kesatuann yang teratur dan rapi dalam suatu organisasi/lembaga dakwah.
Kemudian dari itu, mereka yang telah diatur dan diorganisir, lalu digerakkan dan diarahkan pada sasaran-sasaran atau tujuan dakwah yang dikehendaki. Akhirnya tindakan-tindakan dakwah itu diteliti dan dinilai apakah selalu sesuai dengan rencana yang telah disusun ataukah telah terjadi penyimpangan. Rangkaian dari kegiatan-kegiatan yang terdiri atas perencanaan dakwah, pengorganisasian dakwah, penggerakan dakwah , dan pengerahan dakwah, serta diikuti dengan evaluasi dan penilaian pelaksanaan dakwah, itulah yang dimaksudkan dengan fungsi-fungsi manajemen yang perlu diterapkan dalam mencapai sukses dakwah.
Degan demikian fungsi manajemen yang dimaksudkan adalah rangkaian berbagai kegiatan yang telah ditetapkan dan memiliki hubungan saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya yang dilaksanakan oleh orang-orang dalam organisasi atau bagian-bagian yang diberi tugas untuk melaksanakan kegiatan. Sedangkan fungsi manajemen tersebut merupakan fungsi-funsi kegiatan yang berangkai, bertahap, berkelanjutan, dan saling mendukung satu sama lain. Dan bila dikaitkan dengan dakwah, maka lembaga/organisasi dakwah yang menggunakan prinsip-prinsip tersebut akan mencapai hasil yang lebih maksimal. Karena itu, sebuah lembaga/organisasi dakwah sangat membutuhkan manajemen untuk mengatur dan menjalankan aktivitasnya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. (M.Munir dkk. 2006:81-82).
Sehubungan dengan itu, dalam tulisan ini akan diuraikan satu persatu penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam proses pelaksanaan dakwah sehingga dapat diharapkan akan mencapai hasil yang lebih maksimal :
1. Perencanaan dakwah (Planning)
Setiap usaha, apapun tujunnya hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien bilamana sudah dipersiapkan dan direncanakan terlebih dahulu dengan matang. Demikian pula usaha dakwah yang mencakup bidang yang sangat kompleks dan luas, hanya dapat berlangsung dengan efekktif dan efisien bilamana sebelumnya sudah dipersiapkan dengan perencanaan yang matang sebagai keputusan untuk waktu yang akan datang, apa yang akan dilakukan, bilamana dilakukan, di mana dilakukan, bagaimana melakukan, dan siapa yang akan melakukan. Adapun proses pencapaian tujuan itu memerlukan proses manajemen yang sehat, dalam arti terarah, efektif, dan efisien
Dengan perencanaan, penyelenggaraan dakwah dapat berjalan terarah dan teratur rapi. Hal ini bisa terjadi sebab dengan pemikiran yang matang menyangkut hal-hal apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, sehingga dapat dipeprtimbangkan kegiatan mana yang mendapat prioritas dan harus didahulukan, serta kegiatan mana yang harus dikemudiankan. Atas dasar inilah, maka kegiatan-kegiatan dakwah itu dapat diurutkan dan diatur tahap demi tahap yang mengarah pada pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kaitannya dengan perencanaan, maka dakwah sebagai usaha bersama yang harus dilakukan secara bersama-sama pula melalui organisasi atau lembaga dakwah, sangat diperlukan kepemimpinan yang tepat. Oleh karena itu, fungsi perenacanaan bagi proses dakwah adalah untuk membantu pemimpin dakwah dalama melakukan pengaturan, penggerakan, dan penilaian atau evaluasi dan pengawasan tentang jalannya tugas-tugas dakwah, baik yang sedang berjalan maupun yang telah berjalan, untuk selanjutnya dijadikan landasan bagi pelaksanaan yang akan datang.
Menurut Rosyad Shaleh (1977:64), bahwa perencanaan dakwah harus meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
Perkiraan dan perhitungan masa depan (forecasting);
Penentuan dan perumusan sasaran dalam rangka pencapaian tujuan dakwah yang telah ditetapkan sebelumnya;
Penetapan tindakan-tindakan dakwah dan prioritas pelaksanaannya;
Penetapan dan penjadwalan waktu (Scheduling);
Penetapan metode;
Penetapan lokasi;
Penetapan biaya, fasilitas, dan faktor-faktor lain yang diperlukan (budgeting).

Mengingat bahwa dalam perencanaan perlu adanyaketerlibatan sarana dan prasarana dalam menunjang lajunya pelaksanaan tindakan-tindakan manajemen tersebut, menurut Suhandang, 2007:51-52), rencana suatu manajemen lazim disebut dalam tiga jenis, yaitu :
a. Rencana bidang material, yaitu memuat hal-hal yang menyangkutbdengan pengadaan serta penggunaan bahan baku, barang-barang untuk keperluan administrasi,dan mesin-memsin yang diperlukan.
b. Rencana bidang finansial, yaitu memuat hal-hal yang berkaitan dengan pengumpulan atau penerimaan dana serta pengeluaran atau penggunaannya, termamsuk biaya-biaya yang harus dikeluarkan untukkeperluan opersional para pelaksana dan pengadaan sarana manajemen yang diperlukannya.
c. Rencana bidang operasional, yaitu tindakan-tindakan yang haarus dilakukan oleh para pelaksana sesuai dengan tugas, wewenang, serta tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Sudah tentu rencana dimaksud harus disesuaikan dengan rencana bidang keuangannya. Rencana yang didasarkan pada polaq pelaksanaan kerja (operasinya) itu, sudah tentu membutuhkan alat-alat dan orang-orang untuk menyelesaiikan seluruh kegiatan yang direncanakannya itu. Maka rencana bidang opersional maupun material tersebut harus selalu berorientasi pada rencana bidang finansial.

Demikianlah proses peneyelanggaraan dakwah yang didasarkan pada suatu rencana yang telah dipersiapkan secara matang kemudian diikuti dengan langkah-langkah kongkrit di lapangan akan memberikan hasil yang lebih baik.
2. Pengorganisasian Dakwah (Organizing)
Pengorganisasian dakwah adalah keseluruhan proses pengelompokan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab, dan wewenang sedemikian rupa sehingga terciptanya suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka penciptaan tujuan yang telah ditentukan.
Dengan demikian, pengorganisasian memiliki arti penting bagi proses dakwah, sebab dengan dibagi-baginya kegiatan dalam tugas-tugas yang lebih rinci kepada pelaksana-pelaksana yang telah diseleksi akan terhindar dari adanya penumpukan tugas berada pada satu atau dua orang saja. Jadi, pengorganisasian mengandung unsur koordinasi untuk menemukan kepastian dari berbagai perbedaan-perbedaan berbagai unsur demi terciptanya harmonisasi dalam tugas dakwah.
Pengorganisasian sangat erat hubungannya dengan pengaturan struktur melalui penentuan kegiatan untuk mencpai tujuan, walaupun struktur itu bukan merupakan tujuan. Oleh karena itu, organizing dakwah sudah barang tentu disesuaikan dengan bidang garapan dakwah serta lokasi pewilayahan.
Apabila pengorganisasian sebagaimana disebutkan di atas, merupakan wadah dan kerangka struktur yang relatif tetap, maka sisi lain dari pengorganisasian juga memperhatikan hubungan berlakunya tata kerja menurut struktur sehingga masing-masing pelaku mempunyai hubungan formal , baik s ebagai atasan, bawahan, atau sesama sejawat dengan kewajiban dan tanggung jawab yang telah ditetapkan. Hubungan timbal balik antara orang-orang dalam organisasi itu merupakan proses dinamis dalam kegiatan organisasi untuk mencapai tujuan.
Dalam kaitannya dengan hal yang dikemukakan di atas, Zaini Muchtaram (1996:12)
mengatakan bahwa :
Kualitas hubungan antara para pelaku organisasi, lebih-lebih organisasi dakwah, tidak selamanya bersifat formal tetapi juga informal, dalam bentuk perilaku pribadi yang bersifat emosional dan kadang-kadang juga irrasional. Oleh karena itu menjadi suatu seni bagi pimpinan organisasi untuk mengatur keseimbangan antara hubungan formal dengan informal di anatara para pelaku organisasi demi keberhasilan yang ingin dicapai.

Dengan demikian pengorganisasian merupakan penyusunan struktur, prosedur, dan proses kegiatan kerjasama atas dasar hubungan rasional dan formal menurut tatanan hirarkhi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
3. Penggerakan Dakwah (Actuating)
Penggerakan dakwah merupakan keseluruhan proses pemberian motivasi kepada para unsur pelaksana dakwah sehingga mereka mau melaksanakan tugas dengan ikhlas demi tercapainya tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu, setelah rencana dakwah ditetapkan, demikian pul setelah diorganisir dengan rapi, maka tindakan berikutnya adalah menggerakkan dan memotivasi para pelaksana tersebut untuk segera berfungsi sesuai dengan pembagian tugas (job discription) nya. Sasaran penggerakan yang utama sekali adalah sumber daya manusianya. Dalam hal ini semua tenaga kerja yang tersaring atau pun yang telah ditetapkan menjadi anggota digerakkan atau dibina agar mau serta mampu bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Untuk tujuan manajemen dakwah, pembinaan tentunya diarahkan pada pengembangan dan peningkatan karier para anggota di bidang dakwah, di samping agar para anggota betah bekerja sesuai dengan tuntutan organaisasi atau lembaganya.
Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, organisasi dakwah harus digerakkan dengan suatu kegiatan yang dinamis yang disebut manajmen. Manaajmen inilah merupakan suatu proses kegiatan untuk mencapai suatu tujuan. Manajemen ini hampir terdapat dalam seluruh kegiatan manusia, baik di pabrik, di kantor, di sekolah, rumah sakit, hotel, bahkan rumah tangga pun memerlukan manajemen.
Penggerakan sebagai salah satu fungsi manajemen sangat memegang peranan penting, sebab tanpa adanya penggerakan maka fungsi-fungasi manajamen lainnya seperti planning, organizing, dan controling tidak akan dapat berjalan secara efektif. Pentingnya penggerakan ini karena langsung berhubungan dan bersangkut paut dengan tenaga manusia, yang tidak dapat disamakan sumber-sumber (resource) lainnya seperti mesin, uang, peralatan, dan sebagainya, karena manusia di samping memiliki sifat-sifat emosi, seperti perasaan dan keinginan, terutama karena manusia memiliki kebutuhan untuk hidup dan mempertahankan hidupnyasehingga para pelaku dakwah perlu diperhtikan kesejahterannya.
Menurut Rosyad Shaleh (1977, 123-146) bahwa dalam upaya meningkatkan fungsi penggerakan dakwah tersebut perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a. Pemberian motivasi (motivating), yang merupakan salah satu aktivitas yang harus dilakukan oleh pimpinan dakwah dalam rangka penggerakkan dakwah. Masalahnya bagaimana para pelaku dakwah itu secara tulus ikhlas dan senang hati bersedia melakukan segala tugas dakwah yang diserahkan kepadanya dengan motivasi semata- mata ingin mendapatkan ridha Allah.
Walaupun demikian, mengingat bahwa para pelaksana dakwah adalah manusia biasa, maka pimpinan dakwah harus selalu mempertimbangkan segi kesejahteraannya demi memenuhi kebutuhan hidup setiap pelaksana dakwah.
b. Pembimbingan ((directing), adalah merupakan tindakan pimpinan yang dapat menjamin terlaksananya tugas-tugas dakwah sesuai dengan rencana kebijaksanaan dan ketentuan- ketentuan lain yang telah digariskan, sehingga apa yang menjadi tujuan dakwah dapat dicapai.
c. Penjalinan hubungan (coordinating), adalah dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya harmonisasi dan sinkronisasi usaha-usaha dakwah yang mencakup segi-segi yang sangat luas, sehingga tidak terjadi kekosongan, kekembaran, dan kekacauan dalam pelaksanaan tugas pada bidang-bidang yang telah diatur dengan rapi.
d. Penyelenggaraan komunikasi (communicating). Dalam kehidupan organisasional, pencapaian tujuan dengan segala proses dan remifikasinya membutuhkan komunikasi yang efektif (Siagian, 1989:109). Karena memang anggota organiasi tidak mungkin bahkan tidak dapat hidup teresolisasi, baik dari rekan-rekan sekerjanya maupun dari lingkungannya. Tujuan yang hendak dicapai, strategi yang hendak dijalankan, keputusan yang harus dilaksanakan, dan rencana yang harus direalisasikan, kesemuanya memerlukan hubungan baik antar individu maupun antar satuan kerja.
e. Pengembangan/peningkatan pelaksana (developping people), mempunyai arti penting bagi proses dakwah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, keahlian, dan ketrampilan para pelaku dakwah sehingga penyelenggaraan dakwah berjalan secara efektif untuk melakukan perubahan, perbaikan, dan pembaharuan keadaan masyarakat memerlukan pendukung yang memiliki kemampuan yang handal, di samping memiliki iman dan kesadaran yang tinggi dalam pelaksanaan tugas mulia ini.
4. Pengawasan Dakwah (Controling).
Menurut Sondang P. Siagian (1996:135) pengawasan sebagai proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang telah ditentukan sebelumnya. Apabila pengawasan ini dikaitkan dengan dakwah maka penyelenggaraan dakwah dapat dikatakan berjalan dengan efekif dan efisien bilamana tugas-tugas dakwah yang telah diserahkan kepada para pelaksananya benar-benar dilaksanakan sesuai dengan rencana dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Untuk dapat mengetahui apakah tugas-tugas dakwah itu dilaksanakan oleh para pelaksana, bagaimana tugas itu dilaksanakan, sudah sampai sejauh mana pelaksanaannya, apakah tidak terjadi penyimpangan, maka pimpinan organisasi dakwah perlu melakukan pengawasan, penilaian, dan pengendalian. Dengan cara demikian, pimpinan dapat mengambil tindakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan. Dan apabila penyimpangan telah terjadi, maka pimpinan segera mengambil langkah pengendalian dan perbaikan untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan yang terlalu parah yang dapat merusak sistem yang telah dibuat.
Pengendalian dan penilaian, di samping ditujukan pada pelaksanaan tugas-tugas dakwah yang sedang berjalan, juga ditujukan kepada proses yang sudah selesai. Apabila pengendalian dan penilaian macam pertama dimaksudkan untuk pencegahan terhadap kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyimpangan, maka pengendalian dan penilaian macam kedua dimaskudkan sebagai peningkatan dan penyempurnaan terhadap proses dakwah untuk masa-masa yang akan datang.
Pada akhirnya pengawasan, pengendalian, dan penilaian terhadap pelaksanaan dakwah harus ditujukan kepada semua fungsi manajemen lainnya, sebab ia merupakan unsur-unsur yang saling kait mengait. Dengan kata lain, controling harus bisa menjawab mengapa rencana yang telah ditetapkan tidak dapat terlaksana, mengapa organisasi yang telah disusun tidak dapat menjamin mencapai tujuan, serta mengapa fungsi penggerakan tidak dapat menggerakkan pelaksana sehingga tidak dapat melakukan tugasnya secara baik.

Penutup
Bahwa kegiatan dakwah yang menjadi kewajiban bagi setiap muslim tidak akan mencapai hasil yang maksimal apabila hanya dilaksanakan oleh orang perseorangan secara sendiri-sendiri. Untuk mencapai hasil dakwah secara efektif dan efisien, dakwah hendaknya dilaksanakan secara organisasional profesional serta didukung oleh sarana dan prasarana, sera dana yang memadai, kemudian diiringi dengan penerapan fungsi-fungsi manajemen yang baik. Sebab dalam dunia modern seperti sekarang ini, tidak ada suatu usaha kerja sama manusia yang ingin mencapai tujuan tertentu yang tidak menerapkan manajemen. Oleh karena itu penerapan fungsi-fungsi manajemen dalam proses penyelenggaraan dakwah adalah merupakan syarat mutlak apabila ingin melihat dakwah mencapai hasil secara optimal.

Daftar Rujukan
Achmad, A.S., 1982. “Penerapan Strategi Komunikasi Dalam Dakwah” Dalam Lontara No. 10 Tahun XXI, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Anas, Ahmad, 2006. ”Paradigma Dakwah Kontemporer” Aplikasi Teoritis dan praktis Dakwah sebagai Solusi Problematika Kekinia”. Cet.I, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
An-Nabiry, Fathul Bari, 2008. ” Meniti Jalan Dakwah Bekal Perjuangan Para Da’i ” Cet.I; Jakarta: Amzah.
Departemen Agama RI., 1995/1996. “Petunjuk Pelaksanaan Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama” Cet. VIII; Jakarta: Inspektorat Jenderal.
Effendy, Mochtar, 1996. “Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam” Cet. II; Jakarta: Bhratara Niaga Media.
Handayaningrat, Soewarno, 1998. “Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen” Cet. VII; Jakarta: Haji Masagung.
Mahfudh, Sahl,1994. “ Nuansa Fiqh Sosial” Cet.I; Yogjakarta: LkiS.
Muchtaram, H. Zaini, 1996. “Dasar-Dasar manajemen Dakwah” Cet. II; Yogjakarta: Al-Amin Press.
Muhammad, Arni, 1995. “Komunkasi Organisasi” Cet.ii; Jakarta: Bumi Aksara.
Munir, M dan Wahyu Ilahi; 2006. “ Manajemen Dakwah” Cet.I; Jakarta: Prenada Mulia.
Nurudin, 2007. “Pengantar Komunikasi Massa” . Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ruslan, Rosady, 1998. “ Manajmen Humas dan Manajemen komunikasi”Konsepsi dan Aplikasi, Cet.I; Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rais, M. Amin.,1991. “Cakrawala Islam”, Cet. III; Bandung: Mizan.
Shaleh, A. Rosyad., 1977. “Management Dakwah Islam” Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang.
Shihab, M. Quraish, 1992. “ Membumikan Al-Qur’an” Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat.Cet.II; Jakarta: Mizan.
Siagian, P. Sondang.,1996. ” Filsafat Administrasi”, Cet. XXIV; Jakaarta: Gunung Aung,
--------------., 1989.“Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi”, Cet. IV; Jakarta: Haji Masagung.
Suhandang, Kustadi 2007. “ Manajemen Pers Dakwah Dari Perencanaan Hingga Pengawasan” Cet.I; Bandung: Marja.
Sulthon, Muhammad, 2003. “Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis, Epistimolois, dan Aksiologis” Cet. I; Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Suparta, H. Munzier dan H. Harjani Hefni (Ed); 2006. “ Metode Dakwah” Cet.2; Jakarta: Prenada Media.
Tasmara, Toto., 1987. “Komunikasi Dakwah”. Cet.I, Jakarta: Media Pratama.
Terry, George R., 1961. “Principles of Management”, 3rd Edition; New York: Richard D. Irwin, Inc.
Ya’kub, Hamzah., 1986. “Publisistik Islam dan Teknik Dakwah dan Leadership”, Cet. II; Bandung: Diponegoro.

AGAMA DAN MASYARAKAT MODERN

AGAMA DAN MASYARAKAT MODERN
(Puritanisme, Sufisme, Tarekat, dan Modernisme)

Oleh : Hj. Ramlah M.


Abstrak
Telah menjadi Sunnatullah (ketentuan, bukti keMahabijaksanaan Allah), bahwa Islam dijadikan sebagai agama yang diredhai oleh Nya dan sesuai dengan fithrah (dasar kesucian manusia), mengandung nilai-nilai luhur dengan fokus utama untuk menempatkan umat Islam sebagai khaera ummah (umat terbaik);[1] di samping sebagai ummatan wasathan (umat yang memelihara keseimbangan, menguatamakan keadilan).[2]
Untuk menjadi umat terbaik, tentu diperlukan ketangguhan dan keampuhan dalam menapak perjalanan hidup baik berupa sikap mental dan persepsi maupun berupa pemahaman dan pengamalan terhadap ajaran agama Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh umat Islam terdahulu misalnya generasi Shahabat serta generasi berikutnya yang yang semuanya menerapkan ajaran Islam sebagaiman dicontohkan atau diajarkan langsung oleh Rasulullah Muhammad saw.
Karena memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara tepat menurut tuntunan Rasulullah saw., di masa klasik Islam itulah, umat Islam menjadi penguasa dunia dan Dunia Islam selama periode klasik (dari sekitar tahun 650 – 1250 M), menjadi Kiblat dalam di bidang peradaban dan kemajuan sains dan teknologi. Dalam periode Islam Klasik tersebut Eropa sedang berada dalam Zaman Pertengahan yang sedang mengalami keterbelakangan. Orang-orang dari Eropa, terutama para pengkaji dan kaum terpelajar dari Italia, Prancis, Inggris, dan lain-lain berdatangan ke Andalusia (Spanyol) untuk mempelajari sains dan filsafat yang berkembang dalam Islam.[3]
Sayang sekali bahwa sinar terang yang memancar sepanjang masa kejayaan Islam sebagaimana digambarkan di atas kemudian menjadi redup dan mengalami masa surut pasca kejatuhan kota Baghdad akibat penyerangan dari pasukan Hulagu Khan (cucu kaisar Jengis Khan) dari Mongolia. Masa kemunduran yang dialami dunia Islam dikenal dengan sebutan Periode Pertengahan yang berlangsung dari tahun 1250 hingga 1800 M. Di masa itu isu bahwa pintu ijtihad tertutup, semakin tersebar luas dan menguat di kalangan umat Islam, pengaruh tarekat semakin besar dan berkembang di dunia Islam, perhatian umat Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahun sangat kurang. Bahkan umat Islam di Spanyol dipaksa memeluk agama Nasrani atau keluar dari wilayah tersebut.[4]
Kebangkitan kembali umat Islam mulai terwujud pada periode modern yaitu dari tahun 1800 hingga saat sekarang. Di periode inilah umat Islam dan dunia Islam mulai bersentuhan dengan gagasan-gagasan Pembaharuan dalam Islam.[5]
Dengan demikian hembusan angin kebangkitan umat Islam di era modern telah membawa kesegaran yang antara lain ditandai dengan terlepasnya negara-negara Islam yang tadinya berada dalam cengkerman kaum penjajah dari Barat (Eropa) yang rata-rata adalah kaum kafir (Nasrani) yang mengalami masa kegelapan ilmu dan peradaban dalam periode klasik Islam, di saat umat Islam ketika itu sedang berada di puncak kejayaan peradaban, penguasaan politik, dan kemajuan di bidang sains dan teknologi
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kejayaan peradaban dan kemajuan ilmu, sains, serta perkembangan teknologi yang dialami umat Islam sepanjang periode klasik Islam tersebut adalah merupakan zaman keemasan bagi umat Islam. Dan keadaan tersebut sekaligus membuktikan bahwa uamt Islam adalah khaer ummah (umat terbaik) serta ummatan wasathan (berada pada posisi moderat, pertengahan, adil, serta menjadi contoh dalam hal kebaikan).[6]
Kejayaan itulah yang perlu dikembalikan oleh umat Islam di masa modern sekarang melalui upaya modernisasi dan langkah-langkah pembaharuan mulai dari sikap mental, pemahaman, dan penerapan ajaran Islam dalam berbagai bidang kegiatan; di mana pun, kapan pun, serta apa pun yang dihadapi. Dengan demikian Islam akan nampak sebagai Rahmatan lil’alamin (penabur tanda kasih dan sayang Allah swt terhadap seluruh isi jagat raya).

Kata-Kata Kunci: Agama, Purinisme, Sufisme, tarekat, Modernisme


FUNGSI AGAMA DALAM MASYARAKAT MODERN
Agama, yang dalam bahasa Inggris disebut religion dan dalam bahasa Arab disebut din, secara sederhana mengandung makna: aturan, ketentuan, atau petunjuk yang wajib ditaati oleh pemeluknya demi mencapai kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan.
Khusus mengenai makna yang terkandung dalam sebutan din untuk menunjuk kepada arti ”agama”, jika dimaknai melaui pendekatan kajian semantik, dapat dipahami sebagai : berutang, dekat, maupun rendah. Hal itu ditemukan apabila ditelusuri kata-kata yang terbentuk melalui susunan huruf-huruf yang membentuk lafaz din tersebut yaitu masing-masing : d, y, dan n. Dari ketiga huruf tersebut terbentuk kata-kata : daen (hutang); danaa’ (dekat); dan dani` (rendah atau hina).[7] Ketiga makna tersebut ada dalam pemahaman dan penghayatan terhadap makna din al-Iskam (agama Islam). ”Berhutang”, mengandung penertian bahwa seseorang yang menganut agama menyadari bahwa keberadaannya dalam kehidupan tidak lain dari bukti kepemurahan Sang Pencipta Yang menjadikan, menghidupkan dan memeliharanya serta menunjukinya dalam kehidupan sehingga ia dapat mengetahui cara untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan. Karena adanya kesadaran tersebut, pemeluk agama merasa wajib bersyukur dengan jalan, antara melaksanakan ibadah ke pada Pencipta-Nya.
Lalu pengertian ”dekat”, ialah adanya kesadaran dari penganut agama tentang posisi kedekatan yang ia tempati di sisi kebesaran Tuhan (Pencipta)-Nya sehingga ia selalu optimis bahwa Tuhan Yang ia sembah itu tidak akan membiarkannya terlantar; selama ia memelihara ketaatan kepada-Nya. Sedang pengertian ”rendah” atau ”huna”, menunjuk kepada derajat ”tingkat bawah” jika dibandingkan dengan kemuliaan dan kesempurnaan yang dimiliki oleh Sang Pencipta Yang memberikan tuntunan melalui ajaran agama kepada hamba-hamba-Nya.
Singkatnya, dengan memahami serta mentaati tuntunan agama, menusia akan memenuhi fungsinya sebagai khalifah (wakil, pemegang mandat) Tuhan di bumi dengan misi utama sebagai pengabdi, pengatur, pengendali, sekaligus sebagai pendorong bagi terwujudnya kemakuran hidup bagi seluruh penghuni jagat raya. Dan itulah maksud kedatangan Rasulullah Muhammad saw menyampaikan agama Islam sebagai Rahmatan lil­-’alamin.
Di masa modern, yang ditandai dengan ketersediaan berbagai fasilitas hidup yang meungkinkan manusia, terutama yang mampu memanfaatkan kemajuan ilmu dan teknologi, untuk mencapai kebutuhan utamanya dengan mudah, agama tetap diperlukan. Bahkan sebaliknya, mengabaikan tuntunan agama dalam kehidupan modern, akan berakibat munculnya mala petaka bagi umat manusia secara meluas sebab manusia-manusia-manusia modern, yang tanpa bimbingan agama, akan bebas mengikuti kecenderungan nafsu serta keinginan mereka; sekalipun harus mengorbankan hak dan kepentingan pihak lain. Dan di sinilah letak penyebab timbulnya bencana bagi peradaban umat manusia sebagaimana mulai nampak sekarang terutama diakibatkan oleh penguasa produk teknologi canggih yang tidak taat terhadap nilai-nilai luhur dari ajaran agama yang diyakini sebagai tuntunan yang benar.
Sepanjang masa keberadaan umat manusia, baik sebelum dan di zaman klasik, zaman pertengahan, maupun di era modrn seperti sekarang, agama tetap dibutuhkan demi menjaga keselamatan penghuni jagat raya terutama manusia sebagai pelaku budaya. Paling tidak ada 7 (tujuh) nilai dasar yang diperjuangkan oleh agama – yang kesemuanya adalah merupakan misi utama ESQ Training yang digalakkan oleh ESQ Leadership Centre di bawah bimbingan Ary Ginanjar -- untuk diwujudkan dalam kehidupan modern sekarang dan ke depan agar tercipta harmonisasi dalam kehidupan. Ketujuh nilai dasar tersebut, masing-masing adalah : (1) Jujur ; (2) Tanggung jawab; (3) Visioner; (4) Disiplinn; (5) Kerjasama; (6) Adil; dan (7) Peduli.[8]
Agama harus diberi fungsi sebagai ”lembaga konsultasi” oleh pelaku budaya dengan jalan menempatkan agama sebagai suber petunjuk yang memiliki nilai-nilai universal dan agung karena ajarannya diyakini sebagai bersumber zat yang Maha Transenden.

BEBERAPA SIKAP KEBERAGAMAAN DALAM MASYARAKAT MODERN
A. Puritanisme
Term puritanisme (paham atau gerakan yang bertujuan untuk memurnikan ajaran agama dari perlakuan yang menyimpang baik dalam bidang keimanan, maupun dalam pelaksanaan ibadah). Pada awalnya gerakan ini dimunculkan oleh penganut agama Kristen Protestan di Inggris yang menolak sistem yang berlaku di kalangan pengikut gereja Roma Katholik di bidang-bidang upacara trsdisional, formalitas stelsel kekuasaan, dan juga organisasi kepemimpinan.[9]
Khusus dalam sejarah perjalanan dan perkembangan Islam, paham puritanisme mulai dikenal melalui gerakan pemurnian aqidah (keyakinan) yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703 – 1787) dari Nejed, Saudi Arabia. Beliau adalah pelanjut cita-cita dan ajaran pemurnian aqidah tawhid yang telah dirintis kedua pendahulunya yaitu Ibnu Taimiyah (w. 728 H./1328 M.) dan muridnya : Ibnu Qayyim al-Jawziy (751 H / 1350 H.).[10]
Menurut Abdul Wahhab, kemurnian paham tawhid umat Islam telah dirusak oleh ajaran-ajaran yang berasal dari luar; atau bukan berasal dari ajaran Islam itu sendiri. Contohnya, antara lain, pemujaan terhadap pimpinan tarekat, praktek mengkeramatkan kuburan orang-orang atau tokoh yang dianggap sebagai wali, mendatangi kuburan ”wali-wali” tersebut lalu meminta kepada penghuninya agar diberi jodoh, diberi anak, disembuhkan dari penyakit yang sedang diderita, bahkan ada yang meminta agar diberikan kekayaan.[11]
Gerakan purifikasi untuk memurnikan ajaran agama, termasuk dan teristimewa ajaran agama Islam memang merupakan sesuatu yang amat mendesak dan amat diperlukan di zaman modern sekarang, terutama dalam rangka upaya untuk mengembalikan ”milik” umat yang telah terlepas yaitu posisi sebagai umat terbaik. Sebab menurut bukti-bukti sejarah keterpurukan atau ketertinggalan yang dialami oleh umat Islam pasca periode klasik Islam, justeru banyak diakibatkan oleh kekeliruan umat Islam dalam memahami dan menerapkan ajaran agama mereka. Akibatnya, timbullah peraktek atau perlakuan dalam menjalani hidup keagamaan yang sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Sebagai contoh keyakinan dan perlakuan yang merusak citra Islam. Antara lain, pemahaman yang bernuansa takhayul, perlakuan bid’ah, dan peraktek-peraktek yang bersifat chuarafat yang tidak lain adalah penyimpangan dari ajaran Islam yang murni. Tidaklah mengherankan jika ketiga macam penyimpangan tersebut (yaitu takhayyul, bid’ah, dan churafat), diplesetkan menjadi penyakit tbc yang mengakibatkan umat Islam menderita penyakit parah sehingga mengalami kelemahan karena tubuh masyarakatnya telah lama digergoti oleh ”penyakit kronis” dan sangat berbahaya tersebut.
Umat Islam perlu disadarkan melalui langkah-langkah Purifikasi agar dunia Islam dapat lebih cepat bangkit kembali sebagaimana yang telah dialami oleh generasi umat terdahulu di masa keemasan yang berlangsung sepanjang periodi klasik Islam.


SUFISME DAN TAREKAT
1. Sufisme
Term sufisme, atau misticisme dalam Islam belumlah dikenal sejak awal kemunculan agama Islam yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad saw. Mengenai asal tasawuf, terdapat beberapa pendapat. Harun Nasution[12] mengemukakn 5 (lima) sumber yang dianggap oleh sementara kalangan pengkaji tentang asal usul tasawuf atau misticisme dalam Islam. Salah satunya ialah bahwa paham tersebut berasal dari filsafat Emanasi Plotinus yang memandang bahwa alam wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan. Dengan masuknya roh ke alam materi , roh menjadi kotor, dan untuk kembali ke tempat asalnya harus melalui pensucian, yaitu dengan jalan meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin bahkan kalau bisa, bersatu dengan Tuhan. Ajaran tentang Ittihad (menyatu) ini rupanya terpengaruh oleh filsafat Emanasi yang dikembangkan oleh Plotinus.
Menurut penulis, asumsi (dugaan) tentang asal usul tasawuf sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, tidaklah benar. Sebab dalam al-Qur`an sendiri terdapat ayat-ayat yang menjadi sumber ajaran tasawuf yang berciri keislaman. Misalnya ada ayat yang menyatakan bahwa manusia dekat sekali dengan Tuhan (Allah swt), dan menunjukkan tentang pola hidup kerohanian dalam Islam; antara lain :
a. Surah al-Baqarah (2) : 186 :16 :

186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.[13]

a. Surah Qaaf (50) :

016. Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.[14]

Di samping kedua ayat di atas, ada pula hadis yang dijadikan sebagai sumber ajaran tasawuf dalam Islam. Antara lain ajakan untuk menjalani kehidupan zuhud sebagai salah satu ajaran tasawuf ; dan pada intinya menunjukkan adanya kesadaran tentang kedekatan hamba kepada allah swt. sebagai berikut :
- اِزْ هَدْ فِى الدُّنْيَا يُحبُّكَ اللهُ وَازْهَدْ فَيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ الله . (رواه إبن ماجه).
- كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم يَرْكَبُ الْحِمَارَ رَ يَحْصِفُ النَّعْلَ رَ يَرْقَعُ الْقَمِيْصَ . (رواه إبن عَساكِر).[15]
Selain kedua ayat dan kedua hadis nabi yang dikemukakan di atas, yang mendorong timbulnya kehidupan sufi dalam Islam, Rasulullah saw pun telah mempraktekkan kehidupan kerohanian dalam model sufi (pengamalan tasawuf) yaitu bersamedi dalam gua Hira`. Hal itu merupakan cahaya pertama bagi kelahiran tasawuf dan itu pulalah yang merupakan benih pertama bagi kehidupan ruhaniah. Peri kehidupan Rasulullah Muhammad saw merupakan pola dasar dan gambaran lengkap bagi para sufi dalam hal pengamalan tasawuf.[16]
Melihat dasar yang menjadi pangkal lahirnya tasawuf atau Sufisme dalam Islam sebagaimana yang dikemukakan terdahulu, dapat disimpulkan bahwa praktek kehidupan dan pelaksanaan ibadah menurut ajaran tasawuf sebenarnya sangat positif sebab menunjukkan adanya kesadaran tentang keadaan yang amat dekat denganAllah swt di sampingkan menghindarkan pelaknya dari posisi “hamda dunia” atau “hamba materi” serta melahirkan jiwa yang bersih, tenang, dan selalu merasa ridha (senang) terhadap keadaan yang dialami.
Namun demikian terdapat pula penilaian yang negatif terhadap praktek kehidupan sufi dan menganggapnya sebagai salah satu bentuk penyimpangan dari inti ajaran Islam. Salah satu dari penilaian negatif terhadap Sufisme adalah sebaga berikut :
Tasawuf dinilai atau dikategorikan sebagai pemikiran infiltrasi yang beracun terhadap Islam.Tasawuf banyak berlandaskan kepada bid’ah. Bid’ah-bid’ah itu mereka jadikan sebagai bentuk berislam lalu mereka masukkan ke dalam Islam.
Selanjutnya dikatakan :
Sufisme juga menganggap bahwa guru-guru mereka cukup berkata kepada
sesuatu “jadilah” maka sesuatu tadi akan jadi.[17]
Menurut penulis, perlu dibedakan antara faham sufisme yang bersumber dari Islam (al-Qur`an dan Sunnah Rasul saw) dan sufisme yang mengadopsi ajaran-ajaran mistik dari luar Islam melalui berbagai tarekat sufi yang memang banyak berkembang di dunia Islam sejak periode pertengan Islam dan sekaligus menjadi penyebab bagi kemunduran umat Islam. Dengan demikian kita dapat terhindar dari jebakan sikap a priori dan secara gegabah dalam menggeneralisir sufisme sebagai penyimpangan dalam Islam.
2. Tarekat
Tarekat atau thariiiqah adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam upaya untuk mencaai tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Dalam dalam perkembangannya menjadi suatu organisasi sufi,[18] yang melegalisir aktifitas kesufian.
Praktek sufi disistimatisir sedemikian rupa sehingga masing-masing thariqah mempunyai metode pendekatan kepada Allah swt yang berbeda satu sama lain. Di sisi lain, J. Spencer Trimigham menyatakan bahwa thariqah adalah suatu metode praktis untuk menuntun (membimbing) seorang sufi secara berencana dengan jalan pikiran , prasarana dan tindakan, terkendali terus kepada suatu rangkaian dari maqam untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.[19]
Dalam Thariqah atau Tarekat terdapat tiga unsur, yakni murid gur, dan ajaran. Guru adalah orang yang mempunyai otoritas dan legalitas kesufian, yang berhak mengawasi muridnya dalam setiap langkah dan geraknya sesuai dengan ajaran Islam. Dan oleh karenanya ia pasti memilki keistimewaan tertentu seperti bersih jiwanya. Dalam kaitan ini, Abu Bakar Atjeh mengutip isi buku Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah A’lam al-Guyub bahwa seorang guru adalah seseorang yang telah mencapai maqam (posisi) Rijal al-Kamal manusia sempurna) yakni telah mencapai tingkat kesempurnaan dalam hal suluk, syari’ah dan hakikat nya, sesuai dengan ajaran Islamdan telah mendapat ijazah untuk mengajarkan suluk kepada orang lainpada tarekat,.[20] Sedang murid adalah orang yang menghendaki (menginginkan) petunjuk dalam amal ibadah.
Di samping segi-segi negatif yang ada juga segi-segi positifnya. Antara lain, dapat membimbing seseorang untuk berada sedekat mungkin dengan Allah swt, di samping memiliki al-Akhlaq al-Karimah serta tetap konsisten dengan syahadatnya. Meskipun dalam kadar yang relatif. Di kalangan angota-anggotanya terpupuk rasa solidaritas yang tinggi dan tolong menolong. Sikap kesederhanaan mewarnai kehidupan mereka sebagai perwujudan dari konsep zuhud (menjauhi kemewahan hidup duniawi); meskipun kadang nampak berlebih-lebihan dalam penerapan bentuk hidup sederhana.
Dengan demikian kita perlu bersikap obyektif dalam menilai kehidupan sufi yang diterapkan oleh para pengamal ajaran tarekat agar kita tidak keliru dalam memberikan penilaian dan pada akhirnya merugikan umat Islam bahkan bisa merendahkan martabat agama Islam.

MODERNISME
Secara umum, modernisasi dapat dimaknai sebagai meninggalkan cara-cara yang usang (lama) lalu beralih pada cara-cara dan pemakaian alat-alat baru sehingga dapat memnuhi tuntutan hidup yag sesuai dengan kemajuan dunia.[21]
Dalam masyarakat Barat “modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham dan adat-istiadat institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Pikiran dan muncul antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M. Suatu masa yang dikenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age of Reason atau Enlightenment, yakni masa pemujaan akal.[22]
Jadi, modernisasi dalam Islam mengandung pengertia sebagai upaya-upaya atau langkah-langkah mengganti hal yang sudah dipandang usang (lama) dengan hal-hal yang baru dan sesuai dengan tuntutan zaman. Yang diganti itu antara lain berupa gagasan. Pemikiran, ide-ide, maupun perangkat-perangkat lainnya agar penerapan ajaran Islam, khususnya yang berkaitan dengan urusan sosial budaya atau mu’amaah, agar dapat memenuhi tuntutan dan kehendak zaman.
Singkatnya, bahwa yang harus dipermodern ialah pelaksanaan yang berkaitan dengan ajaran Islam yang bukan tergolong sebagai ajaran mutlak. Sedang yang dimaksud dengan ajaran mutlak tersebut ialah yang menyangkut aqidah (urusan keyakinan) dan juga yang menyangkut ibadah mahdhah (ibadah mutlak).
Islam sangat menghargai akal dan memberikannya kebebasan untuk mengelola kehidunpan dengan memanfaatkan akal sebagai sarana utama untk membongkar rahasia yang tersembunyi di balik fenomena alam ini selama tidak merobah ajaran mutlak dari tuntunan Islam.
Dengan demikian, modernisasi dalam Islam adalah suatu keharusan yang perlu segera di wujudkan, demi mengembalikan kejayaan Islam yang kini masih “hilang” dari tangan umat Islam.

IV. PENUTUP
Berdasarkan uraian yangb telah dikemukakan, maka dapat dikeukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
2.
3.
Demikian tulisan singkat dan amat sederhana yang sempat penulis kemukakan dalam kesempatan ini. Penulis sangat mengharapkan sumbangan pikiran dan tambahan informasi sekaitan dengan maksud judul makalah ini. Terima kasih atas segala partisipasi dan buah pikiran yang positif – konstruktif dari teman-teman mitra sekelas dan sejurusan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya penulis sampaikan kepada Bapakp-bapak pemandu serta pembina matakuliah ini; wassalam.








































DAFTAR PUSTAKA



Al-Qur`an al-Karim. Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani, t. th..
Ary Ginanjar Agustian, The ESQ Way 165, Jakarta, ESQ Leadership Centre, 2007.
Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy. 15th ed., New Jersey, Adams & Co., 1963.
Departemen Agama R.I., Al-Qur`an dan Terjemahnya, al-Madinah al-Munawwarah, Majma’ Raha Fahd untuk Penerbitan Mushaf al-Qur,an, t. th., h.
Harun Nasution, Islam Rasional (Gaagasan dan Pemikiran), Bandung, Mizan,
2001.
-----------------, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
-----------------, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, II, Jakaarta, Bulan Bintang
. 1995.
----------------, Pembaharuan dalam Islam , (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), cet. ke 13,
Jakarta, Bulan Bintang, 2001.
J. Spencer. Trimigham. The Sufi Orders in Islam, New York, Oxford University
Press, 1971.
Laila binti Abdullah, Ancaman Sufisme terhadap Islam, Yogyakarta, Tajidu Press, 2002.
Louis Ma`luf, Al-Munjid fi al-A’lam , cet. 15, Beirut, al-Maktabah al
-Kathulikiyyah, 1980.
J. Spencer. Trimigham. The Sufi Orders in Islam, New York, Oxford University
Press, 1971.
Mas’ud Khasan Abdul Qohar, dkk, Kamus Istilah Pengetahuan Populer, t. t. p.,
Bintang Pelajar, t. th..
Proyek Pengembangan Perguruan Tinggi IAIN SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan, 1981.
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah , vol. I, Jakarta, Lentera Hati, 2000.
-------------------, Membumikan Al-Qur`a, Jakarta, Lentera Hati, 1995.




[1]Al-Qur`an al-Karim, surah Ali ‘Imran (3) : 110.
[2]Ibid., surah al-Baqarah (2) : 143. Disebut juga sebagai umat moderat dan umat pilihan karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran ; baik di dunia maupun di akhirat. Lihat : Departemen Agama R.I. : Al-Qur`an dan Terjemahnya, Madinah, Lembaga Al-Haramain untuk Pencetakan dan Penerbitan Mushaf, t. th., h. 36.
[3]Harun Nasution, Islam Rasional (Gaagasan dan Pemikiran), Bandung, Mizan, 1995, h. 7.
[4]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam , (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), cet. Ke 13, Jakarta, Bulan Bintang, 2001, h. 5-6.
[5]Ibid., h. 6.

[6]Quaraish Shihab dalam uraiannya tentang pengertia ummatan wasathan (umat pertengahan) yang tercantum dalam al-Qur`an, surah al-Baqarah (2) : 143 menjelaskan bahwa posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, dan menjadikannya berlaku adil. Dengan posisi itu, seseorang dapat dilihat dari berbagai penjuru, dan ketika itu ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak. Dia pun dapat melihat siapa pun dan di mana pun. Lihat: Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah , vol. I, Jakarta, Lentera Hati, 2000, h. 324.
[7]Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`a, Jakarta, Lentera Hati, 1995, h. 87.
[8]Ary Ginanjar Agustian, The ESQ Way 165, Jakarta, ESQ Leadership Centre, 2007, h. 19.
[9]Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy. 15th ed., New Jersey, Adams & Co., 1963, h. 259.
[10]Louis Ma`luf, Al-Munjid fi al-A’lam , cet. 15, Beirut, al-Maktabah al-Kathulikiyyah, 1980, h. 9dan h. 13.
[11]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah dan Gerakan), cet. Ke 13, (Jakarta, Bulan Bintang), 2001, h. 15.
[12]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, h. 57.
[13]Departemen Agama R.I., Al-Qur`an dan Terjemahnya, al-Madinah al-Munawwarah, Majma’ Raha Fahd untuk Penerbitan Mushaf al-Qur,an, t. th., h.
[14]Ibid., h.




[15]Proyek Pengembangan Perguruan Tinggi IAIN SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan, 1981, h. 48.
[16]Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani, t. th., h. 41.
[17]laila binti Abdullah, Ancaman Sufisme terhadap Islam, Yogyakarta, Tajidu Press, 2002, h. 16 ; 41.
[18]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, II, Jakaarta, Bulan Bintang,h. 89.
[19]J. Spencer. Trimigham. The Sufi Orders in Islam, New York, Oxford University Press,1971, h. 4.
[20]Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo, Ramadhani, 1985, 79 – 84.










[21]Mas’ud Khasan Abdul Qohar, dkk, Kamus Istilah Pengetahuan Populer, t. t. p., Bintang Pelajar, t. th., h. 156.
[22]Harun Nasution, Islam Rasional, (Gagasan dan Pemikiran), Bandung, Mizan, 1995, h. 181.

TEORI QUANTUM LEARNING MENURUT PERSFEKTIP ISLAM

TEORI QUANTUM LEARNING MENURUT PERSFEKTIP ISLAM
Oleh: Hj. A. Ria Warda, M.

Abstrak
Kata-Kata Kunci:
Pendahulua Sejak manusia menghendaki kemajuan , maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Pendidian berkembang dari yang sederhana yang berlangsung dalam zaman di mana manusia masih berada dalam ruang lingkup kehidupan yang serba sederhana. Akan tetapi ketika manusia telah dapat membentuk masyarakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup yang makin tinggi, pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan melainkan kepada pengembangan kemampuan teoritis dan praktis berdasarkan konsep-konsep berfikir ilmiah (Prof. H. M. Arifin, M. Ed, Ilmu pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, cet. 5 Jakarta: Bumi Aksara, 2000, Hal. 2)
Kemampuan konsepsional demikian berpusat pada pengembangan kecerdasan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, faktor daya fikir manusia menjadi penggerak terhadap daya-daya lainnya untuk menciptakan peradaban dan kebudayaan yang makin maju pula. Maka dalam proses perkembangan sejarah pendidikan, masyarakat manusia menciptakan bentuk-bentuk kehidupan yang bersifat dinamis, oleh karena antara pendidikan dengan masyarakat manusia terjadi proses saling pengaruh-mempengaruhi (interaktif). Disatu pihak masyarakat dengan cita-citanya, mendorong terwujudnya pendidikan sebagai sarana untuk merealisasikan cita-cita, sedang dilain pihak pendidikan itu mencambuk masyarakatnya untuk bercita-cita lebih maju lagi bahkan pendidikan dalam suatu-waktu tertentu menjadi pendobrak terhadap keterbelakangan cita-cita masyarakatnya. (ibid)
itulah salah satu cirri dari masyarakat yang dinamis dimana perubahan-perubahan dalam pendiidkan menjadi tumpuan kemajuan, dan perkembangan hidupnya. Perubahan-perubahan dalam pendidikan memang seharusnya terjadi mengingat bahwa perkembangan zaman yang senantiasa menuntut adanya kedinamisan. Berbagai pola dan cara ditempuh untuk menciptakan suasana pendidikan yang efektif dan efisien. Agar nuansa pendidikan mengarah kepada terciptanya tenaga-tenaga yang terampil dan punya nilai yang tinggi.
Salah satu temuan yang diperkenalkan pada akhir abad ke 20 adalah metode atau teknik Quantum Learning. Awal mula dari penerapan metode quantum learning dilakukan pada awal tahun 1980-an yang diterapkan pada suatu perkampungan yang disebut SuperCamp. Inilah cikal bakal sehingga prinsip dan metode Quantum Learning mulai diperkenalkan ke dunia pendidikan. Di SuperCamp diajarkan bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri, keterampilan belajar, dan keterampilan berkomunikasi dalam lingkungan yang menyenangkan. (Bobbi Deproter dan Mike Henarcki, Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, cet. XIV Bandung, Kaifa, 2002 hal. 4-5) Metode ini pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat oleh praktisi pendidikan bernama Bobbi Deporter dan Mike Hernacki. Pada dasarnya metode ini mencoba mengajak murid sekolah untuk menciptakan suatu sistem suasana belajar dengan nyaman dan menyenangkan. Teknik atau metode ini akan membawa kepada kemampuan untuk mengasah diri dan mengenali potensi yang ada dalam diri dan mengenali potensi yang ada dalam diri manusia. Berdasarkan hal tersebut di atas maka yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana pengertian Quantum Learning dan bagaimana sistem dan metode Quantum Learning menurut persfektip Islam.
Pengertian Quantum Learning
Quantum Learning adalah seperangkat metode dan falsafah belajar yang terbukti efektif di sekolah dan bisnis kerja…untuk semua tipe orang, dan segala usia. (ibid., hal 14) Pada musim gugur 1981, Eric Jensen, Gerg Simons dan Bobbi Deporter mengadakan program bagaimana cara belajar. Program ini diadakan KirKwood Meadows, California (daerah pegunungan yang indah di dekat Danau Lahore). Dimulai dengan berbincang-bincang dengan hampir dua ratus orang tua tentang apa yang paling diperlukan anak-anak. Kemudian bekerjalah mereka dengan mennciptakan program sepuluh hari yang mengombinasikan penumbuhan rasa percaya diri, keterampilan belajar, dan kemampuan berkomunikasi dalam suatu lingkungan yang menyenangkan (ibid., Hal 4).
Pada musim panas 1982, kelompok pertama yang terdiri enam puluh delapan remaja tiba diperkemahan. Sebagian besar dari mereka merasa enggan, curiga, dan tidak mau bekerjasama, khawatir kalau program ini tidak baik dan berakibat fatal bagi mereka para remaja. Tetapi setelah beberapa saat berjalan mulai terlihat terobosan-terobosan yang mengagumkan dalam artian program ini berhasil. Luaran SuperCamp yang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi dan berkarir mencapai sukses besar. (ibid., hal 6)
Di SuperCamp, semua kurikulum secara harmonis merupakan kombinasi dari tiga unsur: keterampilan akademis, prestasi fisik, keterampilan dalam hidup. Yang mendasari kurikulum ini adalah filsafat dasar, yaitu bahwa agar lebih efektif, belajar dapat dan harus menyenangkan.
Lebih lanjut, Bobbi DePorter dan Mike Hernacki mendefenisikan Quantum Learning sebagai “Interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya”. Semua kehidupan adalah energi. Rumus yang terkenal dalam Fisika. Kuantum adalah massa kali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan énergi atau E = mc2. Tubuh kita secara fisik adalah materi. Sebagai pelajar, tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya; interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya.
Metode Quantum Learning (ibid ha 14-16)
Quantum Learning berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestologi” atau “suggestopedia”. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif ataupu negatif. Beberapa teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman, memasang musik latar di dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan informasi, dan menyediakan guru--guru yang terlatih baik, dalam seni pengajaran sugestif.
Istilah lain yang hampir dapat dipertukarkan dengan suggestology adalah “pemercepatan belajar” (accelerated learning). Pemercepatan belajar didefenisikan “memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan”. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang secara sekilas tampak tidak mempunyai persamaan: hiburan, permainan, warna, cara berfikir, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerjasama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.
Quantum Learning mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara siswa dan guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan positif, faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan “pegangan” dari saat-saat keberhasilan.
Quantum Learning menggabungkan sugestologi, tehnik pemercepatan belajar, NLP dengan teori, keyakinan. Termasuk diantaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti:
· Teori otak kanan/kiri (fungsi otak kanan: acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Sedangkan otak kiri: logis, sekwensial, linear, dan rasional. )
· Teori otak triune (1. Batang atau otak reptilia; fungsi motor sensorik, kelangsungan hidup, dan hadapi atau lari. 2. Sistem limbik atau otak mamalia; perasaan /emosi, memori, bioritmik, dan sistem kekebalan. 3. Neokorteks atau otak berfikir; berfikir intelektual, penalaran, perilaku waras, bahasa, dan kecerdasan yang lebih tinggi.)
· Pilihan modalitas (Visual, auditorial, dan kinestetik).
· Teori kecerdasan ganda
· Pendidikan holistik (menyeluruh)
· Belajar berdasaran pengalaman
· Belajar dengan simbol (methaporic learning)
· Simulasi/permainan.
Quantum Learning Menurut Persfektip Islam
Hal paling berharga dalam belajar adalah mengadakan program bagaimana cara belajar. Untuk berhasilnya program ini tentunya melalui proses yang terarah dan bertujuan yakni mengarahkan anak didik kepada titik optimal kemampuannya. Di samping itu dalam penyajian materi harus mampu menyentuh jiwa dan akal peserta didik, sehingga mereka dapat mewujudkan nilai etis atau kesucian, yang merupakan nilai dasar bagi seluruh aktifitas manusia, sekaligus harus mampu melahirkan keterampilan dalam materi yang diterimanya.
Dapat dikatakan bahwa tujuan Quantum Learning menurut pandangan Islam adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya. Manusia yang dibina adalah mahluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan inmaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akal menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwa menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmani menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhuk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan amal. (M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. II,Bandung: Mizan 1992 hal. 173)
Adapun tentang belajar, dalam Islam dikatakan bahwa belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat. Sasarannya amat panjang, yaitu selama hayat dikandung badan, dari buaian sampai ke liang lahat. Belajar termasuk jenis ibadat mengingat tujuannya mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana halnya shalat, maka dalam belajar, siswa pertama-tama harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dan sifat-sifat yang tercela. Termasuk sifat-sifat yang rendah atau tercela adalah marah, bersyahwat, sakit hati, dengki, tinggi hati, merasa super dan sebagainya. Pendapat al-Gazali tentang wajibnya membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela agar dalam membaca materi pelajaran, siswa dapat memahami, mengamalkan dan mengambil manfaat dari apa yang dibacanya. (Fathiyah Hasan Sulaiman, diterjemahkan oleh Z. S. Nainggolan, Hadri Hasan, Sistem Pendidikan Menurut al-Gazali Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta: Dea Press, 2000, hal. 67.)
Iqra` atau bacalah,kata ini sedemikian pentingnya sehingga diulang dua kali dalam rangkaian wahyu pertama. Membaca adalah merupakan kata pertama dari wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw.Mungkin mengherankan bahwa perintah tersebut ditujukan pertama kali kepada seseorang yang tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turunnya al-Qur`an bahkan seorang yang tidak pandai membaca suatu tulisan sampai akhir hayatnya.Namun keheranan ini akan sirna jika disadari arti Iqra` dan disadari pula bahwa perintah ini tidak hanya ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad Saw semata-mata, tetapi juga untuk manusia sepanjang sejarah kemanusiaan.Karena realisasi perintah tersebut merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.(M.Quraisy Shihab,op.cit.,h.167). Iqra`, yang diterjemahkan ‘bacalah’, tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis yang dibaca tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain.Penerapan metode Quantum learning seperti kegiatan tadabbur alam misalnya,mengantar siswa untuk mengetahui kebesaran Allah bukan lewat teks tapi langsung melihat dalam alam nyata.
Dalam belajar para siswa tidak hanya dituntut untuk mempelajari,menekuni, dan menguasai berbagai pelajaran dalam bentuk teori saja seperti membaca dan menulis.Namun mereka juga diarahkan untuk dapat melakukan kerja praktek di lapangan melalui berbagai kegiatan “ekstra kurikuler” sesuai konsep pendidikan islam,yang dapat diambil manfaatnya dan dapat menghasilkan pengalaman belajar yang sifatnya bukan hanya hiburan semata melainkan juga punya nilai pendidikan,seperti olahraga,darmawisata,berkemah,berdiskusi dan lain sebagainya.
Metode Quantum Learning menurut pandangan Islam
Tehnik atau metode Quantum Learning menurut pandangan Islam secara berurutan dapat dilihat berikut ini:
a. Metode situasional
b. Metode terchieb wat targhieb
c. Metode conditioning
d. Metode kebermaknaan
e. Metode dialogis
f. Metode enquiry dan discovery
g. Metode uswatun hasanah
h. Metode kasih sayang
i. Metode bercerita
j. Metode hukuman dan hadiah (H.M.Arifin,M.Ed,op.cit.,h.214-218 dan Fathiyah Hasan Sulaiman,op.cit.,h.57-66).

* Metode situasional yang mendorong anak didik untuk belajar dengan perasaan gembira dalam berbagai tempat dan keadaan.
* Metode terchieb wat targhieb, yang mendorong anak didik untuk belajar atas dasar minat yang berkesadaran pribadi,terlepas dari paksaan atau tekanan mental.
* Metode belajar yang berdasarkan conditioning,yang dapat meningkatkan konsentrasi dan perhatian anak didik terhadap pelajaran yang disajikan oleh guru (pendidik).
* Metode yang berdasarkan prinsip kebermaknaan,menjadikan anak didik menyukai dan bergairah dalam belajar karena menyadari bahwa pelajaran yang diberikan oleh guru akan memberikan makna bagi kehidupannya lebih lanjut.
* Metode dialogis yang melahirkan sikap demokratis dimana anak didik tidak bergantung sepenuhnya kepada guru (pendidik). Metode ini akan mendorong guru dan siswa untuk saling memberi dan menerima (take and give).
* Metode enquiry (menyelidiki) dan metode discovery (menemukan) ilmu pengetahuan baru dari dirinya sendiri dan dari lingkungan sekitarnya. Metode ini mendorong anak didik untuk belajar secara aktif,inovatif dan kreatif.
* Metode pemberian contoh tauladan yang baik(uswatun hasanah) terhadap anak didik. al-Gazali mengungkapkan bahwa guru bagi siswa adalah ibarat bayangan dari kayu.Bayangan tidak mungkin lurus apabila kayunya bengkok.Jadi guru mestinya meniru Nabi Muhammad Saw.sebagai suri tauladan yang baik,agar anak didik memperoleh dan berperilaku baik.
* Metode yang menitikberatkan pada bimbingan berdasarkan rasa kasih sayang.Dalam hal ini al-Gazali juga memandang penting hubungan antara guru dan siswa,mengingat keberhasilan pendidikan sangat ditentukan oleh hubungan kasih sayang dan santun yang seharusnya mengikat antara guru dan siswa.Hubungan seperti ini akan menjamin rasa tenteram siswa terhadap gurunya sehingga siswa tidak menjadi takut kepada gurunya dan guru tidak pula meninggalkan pelajaran yang diasuhnya. Sehingga pembelajaran dapat berlangsung intensif.
* Metode pemberian hadiah dan hukuman yang tujuan pokoknya untuk membangkitkan perasaan tanggung jawab anak didik.Hadiah dan hukuman yang bersifat materil dan moril yang akan diberikan harus didasarkan atas bobot dari perilaku belajar siswa yang seringkali berbuat keliru atau berbuat benar.
* Metode bercerita. Allah memerintahkan manusia agar menceritakan kasus-kasus sejarah masa lampau untuk menunjukkan fakta-fakta kebenaran.Dari segi psikologis, metode ini mengandung makna reinforcement (penguatan) pada diri anak didik agar tahan uji dalam berjuang melawan keburukan.

Metode-metode yang dipaparkan di atas,dapat dijadikan acuan /pegangan demi terciptanya model-model proses pembelajaran yang bersifat lentur dan kontekstual terhadap tuntutan kebutuhan hidup anak didik sebagai hamba Allah dan sebagai anggota masyarakat. Dan diharapkan menjadi pegangan dalam pengembangan hidup anak didik yang berorientasi pada potensi keimanan dan ilmu pengetahuan.

Kesimpulan
Metode Quantum Learning merupakan seperangkat metode dan falsafah belajar yang membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan,penuh kegembiraan dan bermanfaat.

Metode Quantum Learning menurut persfektip Islam mengarahkan anak didik pada titik optimal kemampuannya, dapat memberikan perasaan gembira dan kesan yang menyenangkan. Dengan metode belajar yang tepat guna,berdaya guna dan berhasil guna serta berarah tujuan pada cita-cita Islam, dunia dan akhirat,ilmu dan amal.

AGAMA DAN MASYARAKAT MODERN

Jumat, 24 April 2009

Kamis, 02 April 2009


PROFIL P3M STAIN PALOPO
PROFILPUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (P3M)SEKOLAH TINGGIU AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PALOPOPendahuluanSecara fungsional, keberadaan Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Palopo tidak dapat diabaikan kedudukan, peran dan fungsinya. Hal ini berkaitan dengan misi sebuah perguruan tinggi yang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu misi teaching, riset dan pengabdian masyarakat. Dalam perspektif tri dharma perguruan tinggi, P3M memiliki tugas dan fungsi di bidang penelitian dan pengabdian. Berdasarkan legal status, P3M merupakan salah satu lembaga atau unit pelaksana teknis di STAIN Palopo yang menyelenggarakan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, dalam menjalankan tugas riset dan pengabdian tersebut, P3M secara konseptual-aksiologis tidak dapat menafikan misi pengajaran. Sebab ketiga misi tersebut harus berjalan beriringan dan sinergis. Melalui teaching dapat dikembangkan SDM sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Lewat pendidikan juga, akan melahirkan SDM yang pada akhirnya memiliki kapabilitas dalam melakukan riset dan kerja sosial berupa misi community empowering. Dengan melakukan riset, akan ditemukan berbagai informasi, ilmu pengetahuan, teori-teori baru, metode baru yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya bahan pembelajaran bagi dosen dan mahasiswa. Dengan itu, materi ajar tidak hanya berupa text-book yang sudah out of date, basi, ketinggalan, tetapi juga dari informasi dan pengetahuan terkini yang berbasis riset.Pengabdian, di satu sisi merupakan wahana kepedulian civitas akademika STAIN Palopo terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, melalui pengabdian, masyarakat kampus mempraktekkan, menerapkan, mengamalkan potensi ilmu yang dimiliki dan dalam waktu bersamaan dapat dikembangkan untuk membantu masyarakat dalam memecahkan problem sosial. Di sisi lain, lewat pengabdian, insan akademik dapat belajar dari dan tentang living tradition. Banyak informasi, data, dan pelajaran yang berkembang di masyarakat. Potensi ini dapat dimanfaatkan oleh pihak kampus untuk memperkaya bahan ajar, dan sekaligus dapat dijadikan sebagai pijakan melakukan riset. Karena dari sana akan dapat diidentifikasi masalah-masalah dan potensi baru yang dapat diteliti lebih lanjut. Selanjutnya, melalui riset akan ditemukan pengetahuan, informasi, metode baru yang dapat dimanfaatkan bagi bahan ajar dosen, atau untuk memecahkan persoalan kemasyarakatan lebih lanjut. Begitu seterusnya. Dengan kata lain, tanpa pembuktian praktis-realis melalui pengabdian kepada masyarakat dengan segala bentuk: Kuliah Kerja Nyata, Desa Mitra Kerja, Madrasah Binaan, dll. Sebuah hasil riset menjadi tidak valid dan proses pendidikan menjadi tidak par exellence, karena tidak mampu mentransformasikan realitas sosial.Visi, Misi dan Tujuan1. VisiVisi Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) STAIN Palopo adalah mewujudkan lembaga penelitian sebagai pusat riset, pengembangan ilmu, pusat informasi ilmiah yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan serta menghasilkan berbagai jenis penelitian yang berkualitas dan mampu memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan secara akademis-profesional melalui penalaran, ligoka berfikir ilmiah dan berkompetisi bagi para Dosen dan peneliti.2. MisiMisi Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) STAIN Palopo adalah:a. Menjadikan lembaga penelitian sebagai “research institutional” guna mencapai tujuan pembangunan bangsa.b. Meningkatkan kualitas penelitian dalam bidang keagamaan serta inovasi lainnya secara ilmiah.c. Membentuk iklim akademik yang sehat dan memanfaatkan hasil temuan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.d. Meningkatkan pelayanan kepada peneliti dan masyarakat dalam bentuk kerjasama dengan berbagai instansi, baik dengan instansi pemerintah, swasta maupun institusi luar negeri dalam hal peningkatan kemampuan dan kualitas penelitian.e. Meningkatkan iklim budaya meneliti di kalangan dosen STAIN Palopo.3. ProgramSesuai dengan visi dan misi, maka STAIN Palopo memiliki program kegiatan, antara lain:a. Peningkatan kemampuan meneliti dosen tingkat pemula dan tingkat Madya melaui kegiatan pelatihan, lokakarya, dan seminar.b. Peningkatan iklim budaya meneliti di kalangan dosen, dengan melakukan berbagai kegiatan seminar yang berkaitan dengan penelitian, seperti: seminar proposal penelitian, dan seminar hasil penelitian; membentuk kelompok-kelompok peneliti di kalangan staf pengajar STAIN Palopo.c. Pelaksana dan koordinator kegiatan peneltian yang dibiayai DIPA.d. Kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah dalam melaksanakan pembinaan masyarakat desa/ kelurahan. Dengan visi dan misi tersebut, tujuan pendirian P3M secara kelembagaan adalah untuk menjadi pusat riset di mana hasil-hasil riset tersebut dapat digunakan untuk pengembangan kelembagaan, mereformulasi teori-teori, epistem, metodologi ilmu pengetahuan dan sekaligus dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan problem kemanusiaan sebagai bukti pengabdian masyarakat kampus. Hal ini perlu ditekankan mengingat P3M mempunyai tugas merencanakan, melaksnakan, mengkoordinasikan, memantau dan menilai kegiatan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan/terapan dan pengabdian kepada masyarakat. Di samping itu, Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) juga melakukan pelatihan, up grading, pendampingan, konsultasi dalam rangka ikut andil mewujudkan pemberdayaan masyarakat sipil.Sumberdaya (resources)P3M. Sebagai sebuah lembaga yang bergerak di bidang riset dan pemberdayaan masyarakat, P3M memiliki sumber daya berupa; pertama, sumber daya fisik. P3M memiliki --tepatnya memanfaatkan-- ruangan seluas 4x7 M di lantai 1 sebelah Utara gedung pusat. P3M juga dilengkapi mesin elektronis dan alat perlengkapan lainnya sebagai penunjang dalam melaksanakan tugas kelembagaan.Kedua, sumberdaya finansial. Di bidang finansial, P3M secara umum masih tergantung pada anggaran lembaga induknya, yaitu anggaran STAIN PALOPO. Namun demikian, pengelola P3M berusaha mencari terobosan-terobosan pendanaan dari sumber non-DIPA, melalui berbagai kerjasama dengan pihak luar kampus, seperti Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kota Palopo.Ketiga, sumber daya manusia. P3M pada hakikatnya adalah milik semua civitas akademika STAIN PALOPO. Semua civitas akademika merupakan SDM bagi P3M. Ia memiliki hak, kesempatan, kewajiban yang sama untuk memanfaatkan, mengembangkan dan mendayagunakan lembaga tersebut. Namun, sebagaimana layaknya sebuah lembaga, P3M dikelola oleh seorang kepala, dibantu seorang sekretaris dan beberapa staf administrasi.Berikut ini struktur pengelola P3M STAIN Palopo Kepala : H. Rukman Abdul Rahman Said, Lc., M.Th.I.Sekertaris : Takdir SH., MH.Anggota : Dra. Hj. Ramlah M. MM.Kaharuddin, S.Ag., M.Pd.I.Amrul Aysar Ahsan, S.Pd.I., M.Si.Wahidah Sofyan, S.Ag.Pada hakikatnya, P3M sebagai lembaga bergerak di bidang riset dan pemberdayaan masyarakat, membutuhkan SDM yang memiliki kapabilitas dan kapasitas intelektual dan skill di bidang riset dan pemberdayaan. Namun selama ini, dari aspek tersebut SDM P3M masih jauh dari ideal. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola untuk dapat meningkatkan kapasitas inteletualnya terutama di bidang riset dan pemberdayaan masyarakat. Di samping itu, ke depan pimpinan STAIN PALOPO sudah semestinya dalam mempromosikan dan menetapkan SDM untuk P3M mempertimbangkan aspek kemampuan tersebut.Bidang PenelitianP3M STAIN Palopo menempatkan riset dalam konteks tri dharma perguruan tinggi, sebagai mana konsep yang dikembangkan oleh Ditpertais. Di mana rancang bangun hubungan tersebut adalah sebagai berikut: pertama, mensinergikan penelitian dalam penyelenggaraan tri dharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian. Kedua, mengagendakan penyelenggaraan riset yang bervariasi secara proporsional dengan tetap memprioritaskan pada riset akademik. Ketiga, mensinergikan penyelenggaraan penelitian dengan pengembangan kompetensi keahlian dosen, peneliti dan mahasiswa. Keempat, meningkatkan besaran program penelitian, baik secara internal maupun eksternal. Kelima, meningkatkan volume kegiatan dan alokasi biaya penelitian Keenam, memanfaatkan hasil penelitian secara optimal.Dalam penyelenggaraan penelitian, P3M mengarahkan pada tiga sasaran secara simultan. Pertama, meningkatkan mutu penelitian, mencakup proses dan hasil penelitian. Kedua, untuk meningkatkan diversifikasi penelitian, mencakup penelitian akademik, penelitian pengembangan, penelitian kebijakan dan penelitian aksi (action research). Ketiga, untuk meningkatkan manfaat hasil penelitian, mencakup pengembangan ilmu pengetahuan dan keagamaan serta penunjang kemajuan masyarakat.Bidang Pengadian kepada MasyarakatMasih konvensional, itulah kesan terhadap pelaksanaan kegitan-kegiatan di bidang pengabdian. Mulai dari aspek konsep atau paradigma, metodologi dan strateginya. Kegiatan-kegiatan seperti KKN dan Desa Binaan sangat karikatif. Pola ini memang tidak lepas dari ideologi pembangunan yang ditanamkan oleh Orde baru. Karena itu kegiatan ini juga masih bersifat top-down. Dari pola kerja semacam ini, P3M telah melaksanakan kegiatan pengabdian berupa KKN dan Desa Binaan di beberapa daerah. Kegiatan-kegiatan tersebut, dipantau tingkat keberhasilannya, karena dilaksakan dalam waktu yang relatif singkat dan tidak berkesinambungan. Pola dan pendekatan pengabdian model tersebut, perlu dikaji ulang seiring dinamika dan situasi sosil kemasyarakatan.Kepala P3M STAIN PalopoH. Rukman AR. Said, Lc., M. Th.I.NIP. 150 316 402