Rabu, 11 Agustus 2010

PERAN KONFORMITAS DALAM PERILAKU SEKSUAL REMAJA PRANIKAH (Sebuah Scientific Enterprise di Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia)


PERAN KONFORMITAS DALAM PERILAKU SEKSUAL REMAJA PRANIKAH
(Sebuah Scientific Enterprise di Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia)







Sebuah Proposal Penelitian yang Diajukan
Sebagai Persyaratan Dalam Memenuhi Seleksi Penelitian
yang Dibiayai oleh DIPA Departemen Agama Tahun Anggaran 2009





Oleh:

Dra.Hj. Ramlah Makkulasse, M.M
Kaharuddin, S.Ag., M.Pd.I
Amrul Aysar Ahsan, S.Pd.I., M.Si, Psikologi











SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALOPO
2009









Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan ora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada



Hidup di jaman edan, memang repot...
Akan mengikuti tidak sampai hati...
Tetapi kalau tidak mengikuti, maka tidak mendapat apapun juga...
Namun sudah menjadi kehendak Tuhan...
Bagaimanapun bahagianya orang yang lupa itu...
Namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.




(Serat Kalathida, Ronggowarsito)
BAB I
PENDAHULUAN




1.1. ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Pada masa sekarang ini sangat relevan rasanya kalau kita membahas masalah remaja. Perlunya membahas masalah remaja terutama disebabkan peran strategis kelompok ini bagi masa depan bangsa. Maraknya fenomena yang berkaitan dengan kelompok usia ini menjadi menu utama media cetak maupun elektronik; baik yang berkaitan dengan fenomena positifnya maupun yang berkaitan dengan fenomena negatifnya. Terdapat penilaian bahwa meskipun masa remaja itu sangat singkat dalam kalkulasi waktu, tetapi masa inilah yang paling menentukan kelanjutan hidup seorang manusia. Para pakar pendidikan dan ilmu jiwa nampaknya sepakat mengatakan bahwa masa remaja adalah masa kritis seorang anak manusia.
Salah satu permasalahan yang sangat lekat dengan kelompok umur ini adalah permasalahan seksualitas. Dipandang sebagai suatu permasalahan disebabkan menyimpang dari norma kemasyarakatan, yaitu bahwa perilaku seksual Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah menjadi suatu hal yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk hidup, karena dengan seks, dalam salah satu aspeknya bertujuan untuk terus bertahan menjaga kelestarian keturunannya.
Pada masa remaja, rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Handbook of Adolecent psychology, 1980). Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila ia tidak memiliki pengetahuan dan informasi yang tepat. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita tidak mengetahui dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali remaja sangat tidak matang untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika harus menanggung resiko dari hubungan seksual tersebut.
Karena meningkatnya minat remaja pada masalah seksual dan sedang berada dalam potensi seksual yang aktif, maka remaja berusaha mencari berbagai informasi mengenai hal tersebut. Dari sumber informasi yang berhasil mereka dapatkan, pada umumnya hanya sedikit remaja yang mendapatkan seluk beluk seksual dari orang tuanya. Oleh karena itu remaja mencari atau mendapatkan dari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya seperti di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, media massa atau internet.
Di zaman seperti sekarang ini, pergaulan bebas merupakan fenomena yang tidak asing lagi. Pergaulan bebas bisa diartikan sebagai pergaulan yang tidak sesuai lagi dengan norma-norma yang ada dalarn masyarakat. Dalam artian yang lebih operasional lagi adalah hubungan seksual (coitus) yang dilakukan sebelum adanya ikatan pernikahan yang sah. Fenomena pergaulan bebas sering dihubungkan dengan perilaku seks bebas yaitu hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan tanpa didasari ikatan pernikahan yang sah, dilakukan dengan bebas atau merupakan tindakan perzinahan. Seseorang yang terlibat dalam pergaulan bebas berarti melakukan tindakan yang melanggar norma agama.
Berdasarkan survai yang dilakukan Badan Kordinasi Keluarga Berencanan Nasional (BKKBN) menemukan, jumlah remaja yang pernah mencicipi seks pada usia SMP hingga SMA di Makassar mencapai 47% hingga 54%. Secara nasional bahkan jauh lebih tinggi mencapai 63%. Sementara 21% di antaranya pernah melakukan aborsi. Menurut Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M Masri Muadz, data itu merupakan hasil survai oleh sebuah lembaga survai yang mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia pada 2008. Angka ini naik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasar data penelitian pada 2005-2006 di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, ditemukan sekitar 47% hingga 54% remaja mengaku melakukan hubungan seks sebelum nikah (Ujung Pandang Ekspres, 2008). Fenomena ini bisa jadi tidak saja terjadi di kota-kota besar seperti yang telah dikemukakan di atas, tetapi juga di kota-kota kecil seperti Palopo.
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan karena remaja merupakan generasi penerus bangsa yang mengemban tugas yang berat untuk membangun bangsa dan negaranya. Namun apabila dalam usia yang masih relatif muda, mereka tidak menyadari akan pentingnya peranan mereka di masa akan datang, maka Negara ini tidak mungkin akan mengalami kemajuan.
Berdasarkan uraian di atas, maka mengajukan judul penelitian “ PERAN KONFORMITAS DALAM PERILAKU SEKSUAL REMAJA PRANIKAH (Sebuah Scientific Enterprise di Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia)”.

1.2. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan penelitian ini adalah:
Mengetahui pengaruh konformitas dan konsep diri terhadap perilaku seksual remaja.
2. Manfaat penelitian ini adalah:
a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi orang tua, sekolah, maupun pihak-pihak yang terkait dalam masalah perilaku seksual remaja.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan perkembangan ilmu yang memfokuskan studi tentang masalah-masalah sosial (social problem) yang berkaitan dengan perilaku seksual remaja.

1.3. LATAR BELAKANG MASALAH
Di tengah-tengah hiruk-pikuk pergolakan politik dan persoalan ekonomi yang sedang bangsa kita sekarang ini, ada satu persoalan yang sepertinya tidak akan pernah berhenti menyedot energi bangsa ini untuk mendapatkan penyelesaian, atau paling tidak mendapatkan porsi perhatian yang lebih baik. Persoalan tersebut menyangkut perilaku remaja. Mulai dari kasus video cabul, tawuran, dan lain sebagainya. Salah satu perilaku yang menyedot perhatian adalah perilaku seksual.
Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan. Karakter seksual masing-masing jenis kelamin memiliki spesifikasi yang berbeda hal ini seperti yang pendapat berikut ini : Sexual characteristics are divided into two types. Primary sexual characteristics are directly related to reproduction and include the sex organs (genitalia). Secondary sexual characteristics are attributes other than the sex organs that generally distinguish one sex from the other but are not essential to reproduction, such as the larger breasts characteristic of women and the facial hair and deeper voices characteristic of men (Microsoft Encarta Encyclopedia, 2009)
Pendapat tersebut seiring dengan pendapat Hurlock (1991), seorang ahli psikologi perkembangan, yang mengemukakan tanda-tanda kelamin sekunder yang penting pada laki-laki dan perempuan. Menurut Hurlock, pada remaja putra : tumbuh rambut kemaluan, kulit menjadi kasar, otot bertambah besar dan kuat, suara membesar dan lain,lain. Sedangkan pada remaja putri : pinggul melebar, payudara mulai tumbuh, tumbuh rambut kemaluan, mulai mengalami haid, dan lain-lain.
Seiring dengan pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja ke arah kematangan yang sempurna, muncul juga hasrat dan dorongan untuk menyalurkan keinginan seksualnya. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar karena secara alamiah dorongan seksual ini memang harus terjadi untuk menyalurkan kasih sayang antara dua insan, sebagai fungsi pengembangbiakan dan mempertahankan keturunan.
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Obyek seksual dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama bila tidak menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual (yang dilakukan sebelum waktunya) justru dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi, marah, dan agresi. Sementara akibat psikososial yang timbul akibat perilaku seksual antara lain adalah ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah, misalnya pada kasus remaja yang hamil di luar nikah. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut. Selain itu resiko yang lain adalah terganggunya kesehatan yang bersangkutan, resiko kelainan janin dan tingkat kematian bayi yang tinggi. Disamping itu tingkat putus sekolah remaja hamil juga sangat tinggi, hal ini disebabkan rasa malu remaja dan penolakan sekolah menerima kenyataan adanya murid yang hamil diluar nikah.
Pacaran merupakan salah satu manifestasi dari hubungan heteroseksual pada remaja. Hal ini senada dengan Hurlock (1973) yang menyatakan bahwa pacaran merupakan fenomena yang khas pada masa remaja. Selain karena adanya perubahan hormonal semenjak organ reproduksi seksual berfungsi, hubungan heteroseksual yang terwujud dalam bentuk pacaran merupakan salah satu usaha pemenuhan tugas perkembangan sosialisasi pada masa remaja.
Berbagai perilaku seksual pada remaja yang belum saatnya untuk melakukan hubungan seksual secara wajar antara lain dikenal sebagai pacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan, pegangan tangan sampai pada ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual.
Adapun faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya permasalahan seksual pada remaja, menurut Sarlito W. Sarwono (1994) adalah sebagai berikut :
Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu
Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain)
Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.
Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan teknologi yang canggih (contoh: VCD, buku stensilan, Photo, majalah, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.
Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini.

Manusia pada dasarnya, termasuk remaja pada dasarnya mempunyai naluri untuk berhubungan dengan sesamanya. Hubungan yang berkesinambungan tersebut menghasilkan pola pergaulan yang dinamakan pola interaksi. Pergaulan tersebut menghasilkan pandangan – pandangan mengenai kebaikan dan keburukan. Pandangan-pandangan tersebut merupakan nilai-nilai manusia, yang kemudian sangat berpengaruh terhadap cara dan pola pikirnya (Soekanto, 2002: 117). Terpengaruh atau tidaknya individu bisa dilihat penerimaan dalam artian kecenderungan penyesuaian dirinya dengan norma kelompok atau lingkungan, tempat dia berada. Kecenderungan tersebut disebut dengan konformitas.
Fuhrmann (1990) mendefinisikan konformitas sebagai kecenderungan untuk menerima dan melakukan standar dari norma-norma yang dimiliki oleh kelompok. Chaplin (2001) memberikan definisi konformitas sebagai berikut: (a) kecenderungan untuk memperoleh satu tingkah laku yang dikuasai oleh sikap, pendapat yang sudah berlaku; (b) ciri pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya. Morton (dalam Sarwono, 2000) mendefinisikan konformitas sebagai sikap menerima nilai- nilai dan norma- norma dari lembaga masyarakat tertentu. Perilaku konformitas menurut Aronson (dalam Purwanto, 1999) dapat diartikan sebagai tingkah laku atau keyakinan seseorang akibat tekanan yang bersifat nyata atau imajinatif dari seseorang atau sekelompok orang. Sears dkk (1985) memberikan definisi konformitas adalah menampilkan suatu tindakan tertentu karena orang lain yang menampilkannya karena adanya tekanan dari kelompok.
Remaja bisa jadi beranggapan bahwa perilaku seks bebas adalah salah satu cara untuk mendapatkan predikat remaja gaul. Di zaman moderen saat ini, pacaran sudah merupakan tren dan kebutuhan dikalangan remaja, baik itu yang tinggal di desa maupun di kota, yang berstatus pelajar, mahasiswa ataupun bukan, jika tidak punya pacar, akan merasa sedih, malu pada teman-teman yang sudah punya pacar, tidak percaya diri, merasa tidak laku, dan lain-lain. Sebaliknya, jika punya pacar, akan muncul rasa bangga, rasa percaya diri karena merasa telah mengikuti tren remaja sekarang. Hal ini sesuai dengan hasil survei awal yang pernah penulis lakukan dengan wawancara terhadap 20 orang remaja akhir berusia 19-21 tahun (10 laki-laki dan 10 perempuan) yang berstatus mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 12 Desember 2004. Berdasarkan wawancara tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa para remaja menganggap bahwa pacaran itu penting bagi mereka. Jadi, dalam hal ini, remaja dalam hal perilaku seksual bisa jadi melakukannya dalam rangka penyesuaian diri dengan kelompok serta nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di dalamnya dengan harapan agar dapat diterima secara sosial dan dapat terhindar dari celaan dan tekanan kelompok, baik yang bersifat nyata maupun yang bersifat imajinatif meskipun kadangkala hal tersebut bertentangan dengan keyakinan yang dimilikinya.

1.4. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah yang akan diangkat di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah ada pengaruh konformitas dengan perilaku seksual remaja pranikah?
2. Bila ada, seberapa besar pengaruhnya?









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



A. PERILAKU SEKSUAL REMAJA PRANIKAH

2.1. REMAJA DAN PERKEMBANGAN SEKSUAL
Kata remaja atau adolescence berasal dari kata Latin adolescere yang berarti "tumbuh" atau "tumbuh menjadi dewasa" (Hurlock, 1980). Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1980) istilah adolescence mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Senada dengan ini, Zakiyah Darajat (1996) mengatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa kanak-kanak sebelurn mencapai dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan yang cepat dalam segala aspek. Dilihat dari segi bentuk badan, sikap, cara berpikir dan cara bertindak, mereka tidak dapat lagi disebut anak-anak, tetapi tidak dapat pula dikatakan orang dewasa karena perkembangan mereka belum sempurna. Anna Freud (dalam Hurlock, 1980) juga mendefinisikan masa remaja adalah masa yang meliputi proses perkernbangan dimana terjadi perubahan-perubahan dalam hal motivasi seksual, organisasi dari ego, dalam hubungan dengan orangtua, orang lain, dan cita-citanya. Sarwono (2002) mendefinisikan remaja sebagai individu yang sedang mengalami perkembangan fisik dan mental. Granville Stanley Hall (dalam Bachtiar, 2004) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa strum dan drang, yaitu periode yang berada pada dua situasi yaitu antara kegoncangan, penderitaan, asmara, dan pemberontakan terhadap otoritas orang dewasa. Sedangkan Boyke Dian Nugraha (dalam Bachtiar, 2004) berpendapat bahwa masa remaja adalah masa yang ditandai dengan perubahan fisik secara cepat, ketertarikan pada lawan jenis, dan keinginan untuk memberontak. George Lavinger (dalam Bachtiar, 2004) juga mengatakan bahwa masa remaja adalah masa ketika individu mulai mengenal minatnya untuk berhubungan dengan lawan jenis, yang ditandai dengan perhatiannya yang besar pada penampilan fisik.
Masa remaja ini akan berakhir ketika individu telah mencapai kematangan dalam berbagai aspek baik fisik, psikis, dan sosial. Disaat mereka telah mencapai kemasakan fisik dan kematangan psikis dan sosial, maka pada saat itu seseorang dapat dikatakan dewasa, namun hal ini juga bisa dilihat dari usia kronologisnya, oleh karena itu perlu diketahui sampai usia berapa masa remaja berakhir. Berkaitan dengan batasan usia remaja, tidak ada kesepakatan para ahli, karena mereka menganggap sulit untuk menentukan batasan usia tersebut. Zakiyah Darajat (1996) mengatakan bahwa masa remaja mulai pada usia 13 tahun dan berakhir pada usia 21 tahun. Kemudian Singgih dan Gunarsa (dalam Panuju, 1999) menetapkan bahwa masa remaja ada pada usia antara 12-22 tahun. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Winarno Surahmad (dalam Panuju, 1999) bahwa masa remaja itu ada pada usia 12-22 tahun. Sedangkan Sarlito Wirawan Sarwono (dalam Bachtiar, 2004) membatasi usia remaja ini ada antara usia 11-24 tahun. Hurlock (1980) membagi masa remaja menjadi dua yaitu remaja awal dan remaja akhir. Remaja awal yang biasanya sering disebut "usia belasan" atau "usia belasan yang tidak menyenangkan", ada pada usia 13-16/17 tahun, dan remaja akhir ada pada rentangan usia 16/17-18 tahun. Senada dengan ini, Susilowindradini (dalam Panuju, 1999) juga membagi masa remaja menjadi dua yaitu masa remaja awal yang ada pada usia 13-17 tahun, dan masa remaja akhir ada pada usia 17-21 tahun. Monks (2002) mengatakan bahwa masa remaja berlangsung antara 12 dan 21 tahun yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu remaja awal ada pada usia 12-15 tahun, remaja tengah ada pada usia 15-18 tahun, dan remaja akhir ada pada usia 18-21 tahun. Organisasi kesehatan dunia (WHO) memberi batasan usia remaja antara 10-24 tahun yang terbagi dalam tiga kelompok yaitu 10-14 tahun merupakan remaja awal, 15-19 tahun merupakan remaja pertengahan, dan 20-24 tahun merupakan remaja akhir (Sarwono, 1981). Batasan usia remaja akhir yang akan menjadi subjek dalarn penelitian ini adalah sesuai dengan pendapat Monks yang mengatakan bahwa remaja akhir ada pada usia 18-21 tahun.
Secara umum, perkembangan yang dialami pada masa remaja mencakup perkembangan fisik, psikis, dan sosial. Dalam perkembangan fisik, terjadi banyak perubahan-perubahan pada fisik remaja, baik secara eksternal maupun internal. Menurut Hurlock (1980) perubahan eksternal yang terjadi pada fisik remaja meliputi tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh, organ seks, munculnya ciri-ciri seks sekunder. Sedangkan perubahan internal yang terjadi pada fisik remaja meliputi perubahan pada system pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin (kelenjar-kelenjar seks berkembang pesat), dan perubahan jaringan tubuh. Kecepatan perkembangan fisik yang dialami remaja akan berpengaruh pada perkembangan seksualitasnya (Monks, 2002). Percepatan perkembangan fisik pada masa remaja merupakan saat tercapainya pematangan bentuk dan fungsi alat kelamin, membawa konsekuensi kesadaran remaja akan adanya dorongan seksual yang sekaligus menyadarkan adanya potensi untuk menikmati perangsangan erotik. Kondisi ini merupakan sumber dari pengembangan rasa ingin tahu remaja akan masalah seks dan seksualitas (Supardi, 1990).
Selain terjadinya perubahan-perubahan fisik yang drastis pada remaja, mereka juga mengalami perkembangan psikis, diantaranya perubahan pada emosi remaja. Dengan adanya perubahan yang terjadi pada tubuh remaja, hal ini dapat membuat mereka tidak bisa menerima keadaan fisik mereka sehingga mereka. mangalami emosi yang tidak stabil. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Hurlock (1980) bahwa masa remaja dianggap sebagai periode "badai dan tekanan", dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Emosi remaja seringkali meledak-ledak, sangat kuat, tidak terkendali dan kadang tidak rasional, namun hal ini akan berubah sejalan dengan bertambahnya usia sampai dapat dikatakan telah mencapai kematangan emosi. Perkembangan dalam hal sosial juga akan dialami oleh remaja. Percepatan perkembangan fisik yang dialarni remaja yang berhubungan dengan masalah seksualitas dapat mengakibatkan suatu perubahan dalam perkernbangan sosial remaja (Monks, 2002).
Salah satu tugas perkembangan yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis, yang dalam hubungan sebelumnya belum ada, dan harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Remaja harus banyak melakukan penyesuaian baru untuk mencapai kematangan sosialnya, baik itu penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya, perubahan perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, dan lain-lain (Hurlock, 1980). Remaja sudah mulai memisahkan diri dari orangtua beralih pada teman sebaya, sehingga mereka akan memiliki kelompok-kelompok sosial tertentu, mulai dari yang dinamakan teman dekat, geng, dan lain-lain. Oleh karena itu remaja lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya dari pada orangtua. Perubahan pada perilaku sosial juga akan terjadi disini seperti yang diungkapkan Hurlock (1980) bahwa yang paling menonjol dalam perubahan perilaku sosial remaja adalah hubungan heteroseksual.
Hubungan heteroseksual yang dimaksud dan akan menjadi fokus didalam penelitian ini terwujud dalam perilaku seksual pranikah yang disebut dengan pacaran. Normalnya, pada masa ini, remaja mulai lebih menyukai lawan jenis sebagai temannya dari pada sesama jenis. Pacaran yang merupakan salah satu manifestasi dari hubungan heteroseksual pada remaja, merupakan hal yang dianggap wajar dialami oleh para remaja. Hal ini senada dengan ungkapan Hurlock (1973) bahwa pacaran merupakan fenomena yang khas pada masa remaja, selain karena adanya perubahan hormonal semenjak organ reproduksi berfungsi, hubungan heteroseksual yang dapat diwujudkan dalam bentuk pacaran merupakan salah satu usaha pemenuhan tugas perkembangan sosialisasi pada masa remaja. Fuhrmann (1990) mengatakan bahwa salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah mempersiapkan diri secara fisik, psikis, dan sosial untuk berkomitmen dengan lawan jenis dan selanjutnya mulai membentuk intimasi sebagai bentuk kematangan psikologis. Salah satu usaha pemenuhan tugas perkembangan ini, remaja mulai pacaran (kencan) dengan lawan jenis. Sebelum masuk pada pembahasan selanjutnya, maka perlu diketahui terlebih dahulu defenisi dari pacaran itu sendiri.
Dalam kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga (2002) arti kata "pacar" adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Berpacaran adalah mengencani, menjadikan seseorang sebagai pacar (dalam Al-ghifari, 2003). Menurut Al-ghifari (2003) kata "pacar" berasal dari nama sejenis tanaman hias yang cepat layu dan mudah disemaikan kembali. Tanaman ini tidak bernilai ekonomis (murahan) sehingga tidak diperjualbelikan. Hal ini sebagai simbol bahwa pacaran adalah perilaku yang tidak bernilai, jika sudah puas dengan pacar yang satu, maka akan beralih mencari pacar baru. Al-ghifari (2002) juga mengatakan bahwa pacaran secara bahasa berarti saling mengasihi, atau saling mengenal. Dalam pengertian luas, pacaran berarti upaya untuk mengenal karakter seseorang yang dicintai dengan cara tatap muka. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Wijayanto (2003) mengatakan bahwa pacaran itu adalah masa orientasi psikis, dalam rangka mengenali hati untuk mengetahui stabilitas emosi seseorang, kekuatan jiwanya dalam menghadapi masalah, kemampuan dalam menata dan manajemen konflik. Sebagai orientasi psikis, tentunya eksplorasinya harus dilakukan dengan hati. Alat atau instrumen yang dapat digunakan adalah komunikasi. Imran (1998) juga mengatakan bahwa pacaran merupakan proses mengenal dan memahami lawan jenis (calon pasangan hidup) dan belajar membina hubungan dekat (berkomunikasi dan menyelesaikan konflik) dengan lawan jenis (calon pasangan hidup) sebagai persiapan sebelum menikah, untuk menghindari terjadinya permasalahan dalam kehidupan berumah tangga yang tidak diantisipasi sebelumnya. Fuhrmann (1990) juga mengatakan bahwa pacaran merupakan bentuk rekreasi dari sosialisasi remaja untuk melatih keterampilan dalam hubungan antar pribadi.
Berdasarkan defenisi yang telah diungkapkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pacaran itu merupakan proses pengenalan kepribadian pasangan, dan yang terpenting dilakukan adalah komunikasi yang efektif, bukan kontak fisik yang mengarah pada perilaku seks bebas. Menyaksikan gaya pacaran para remaja saat ini, sepertinya sudah mengalami penyimpangan dari defenisi pacaran yang sebenamya. Gaya pacaran para remaja sekarang ini sudah sedemikian bebasnya, sehingga ada kesan bahwa pacaran merupakan ajang untuk melegalkan perilaku seks yang seharusnya itu hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. Kissing, nekking, petting dan intercourse sudah merupakan hal yang biasa dilakukan para remaja yang sedang berpacaran. Pacaran sudah tidak dianggap lagi sebagai proses untuk mengenal hati dan kepribadian pasangannya, tapi juga sudah berorientasi pada seks. Dalam pacaran, beberapa kontak fisik telah dilakukan remaja, dengan alasan cinta pada pasangannya, karena mereka menganggap bahwa "cinta = seks". Remaja sekarang menganggap bahwa pacaran itu merupakan sebuah hubungan yang dilakukan oleh sepasang anak manusia (berlainan jenis) dengan ikrar/komitmen (I LOVE YOU ... I LOVE YOU TOO) sebagai alat untuk masuk kepenjajakan rohani dan juga jasmani (Wijayanto, 2003), oleh karena itu, remaja menganggap bahwa pacaran bukan saja proses untuk mengenal kepribadian pasangan tapi juga proses untuk mengenal jasmaninya dengan melakukan kontak-kontak fisik dengan pasangannya perilaku-perilaku seperti kissing, nekking, petting, dan bahkan intercourse. Hal ini sesuai dengan defenisi pacaran yang diungkapkan Wijayanto (2003) berdasarkan gaya pacaran remaja sekarang. Pacaran menurutnya adalah sebagai hubungan yang dibangun atas dasar komitmen, berangkat dari rasa "cinta" untuk memiliki (memonopoli) seluruh potensi yang dimiliki pasangannya, sambil berprosesleh menuju ke tingkat yang lebih serius - serius menikah atau justru serius untuk "berpisah". Sekarang remaja menganggap bahwa pacaran merupakan ajang penyaluran dorongan seksual melalui kontak fisik, padahal seharusnya pacaran merupakan ajang untuk melatih remaja mengatasi konflik, bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan pasangannya, saling menghormati dan menghargai pasangan, berbagi suka dan duka, dan mengembangkan kepribadian (Rahman & Hirmaningsih, 1997).
Di sisi yang lain, dalam pacaran, para remaja menganggap bahwa mereka dapat memonopoli pasangannya secara utuh, terutama fisik dari pasangannya sebagai usaha untuk memuaskan hawa nafsu belaka, karena diantara pasangan tersebut telah ada komitmen "saling mencintai", dan kontak fisik dilakukan sebagai bukti cinta mereka. Oleh karena itu, menurut Wijayanto (2003) orientasi pacaran para remaja sekarang telah berubah menjadi orientasi eksploitasi fisik yang ujung-ujungnya pasti seks, yang awalnya orientasinya sekedar untuk saling mengenal kepribadian. Gaya pacaran remaja yang begitu permisif dan bebasnya seperti yang telah terjadi sekarang ini, telah menyimpang dari norma-norma agama, dan telah menyimpang dari makna atau maksud dari pacaran yang sebenarnya (sebagai proses pengenalan kepribadian, rohani, dan pemecahan masalah).
Menurut Wijayanto (2003), pacaran itu dapat dibedakan berdasarkan empat aspek yaitu a. landasan teologisnya (agamis dan hedonis); c. sifat (sehat dan tidak sehat); d. efek (personal dan komunal); e. durasi (singkat dan lama).
a. Aspek Teologis
Pacaran sekarang sudah mengalami perubahan nilai, sistem, paradigma, konstruksi, desain, dan implikasi negatif yang sangat banyak. Orientasi utama dari pacaran itu sendiri, yang awalnya sekadar untuk saling mengenal psikis (pribadi) menjadi eksploitasi fisik yang akhimya pasti seks. Dalam hal ini agama akan angkat bicara, karena didalam agama ada moralitas seks yang menempatkan ritual seks sebagai sesuatu yang sangat tinggi, luhur, dan sakral, yaitu seks yang dilakukan dibawah naungan lembaga pernikahan yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Tidak ada satupun keyakinan teologis di dunia ini yang memperkenankan umatnya melakukan seks sebelum menikah, khususnya agama Islam, jangankan melakukan seks (berzina), mendekati perzinahan saja sudah tidak diperbolehkan.
b. Sifat Pacaran
Secara umurn sifat pacaran itu ada dua yaitu sehat dan tidak sehat. Selama orientasi utama dari pacaran itu untuk proses awal saling mengenali lawan jenis, untuk secara bersungguh-sungguh berproses kepada hubungan yang serius, yaitu pernikahan, yang akan dikenali adalah pribadi (psikis) pasangannya, bukan hal lainnya, maka pacaran dapat dikatakan sehat. Ketika eksplorasi (pengenalan) tadi telah mengarah pada wilayah zona erotisme eksklusif, dan yang jelas orientasi pacaran sudah berubah pada eksploitasi fisik pasangannya, maka pacaran seperti ini sudah dinamakan "pacaran" (pacaran tanda kutip) dan tidak sehat. "Pacaran" (pacaran tanda kutip) ini telah dihiasi oleh nafsu (sangat dominan) dan cenderung mengarah pada erotisme.
c. Efek pacaran
Efek dari proses pacaran secara langsung memang tidak ada, tapi ada beberapa perubahan pada diri seorang pelaku pacaran, yang hampir semua pelaku pacaran mengalaminya, yaitu:
- Dari sifat mandiri menjadi tergantung.
"Tergantung" disini berorientasi kepada banyak hal, namun kebanyakan mereka menjadi tidak mandiri lagi dalam mengambil keputusan, meskipun sifatnya sangat sepele. Kemana-mana tidak berani sendiri, harus diantar dan seterusnya.
- Menjadi pribadi yang tertutup dan pemurung
- Selalu resah dan dihantui rasa ketakutan
- Menjauh dari lingkungan asalnya, teman-temannya, dan lain-lain.
d. Durasi Pacaran
Durasi pacaran biasanya sangat variatif, tergantung kemampuan dari pelaku pacaran untuk menata dan memanajemen hubungannya.

2.2. PERILAKU SEKSUAL REMAJA PRANIKAH
Sebelum masuk pada pembahasan masalah perilaku seksual, maka akan diawali dengan pembahasan mengenai seksualitas itu sendiri. Bicara soal seks memang tidak ada habisnya. Dia ada saat manusia ada, karena itulah seks merupakan kebutuhan primer manusia, sekaligus anugerah Tuhan, agar manusia mendapatkan kemudahan untuk meneruskan keturunan, dan lain-lain. Sigmund Freud dalam psikoanalisisnya bahkan mengatakan bahwa semua perilaku manusia dilatarbelakangi oleh naluri seks. Membahas seks bukan masalah nafsu atau keturunan saja, tapi juga masalah hubungan sosial seperti pacaran. Pemahaman yang benar tentang seks, akan membawa pada perilaku yang benar pula (Al-Adawiyyah, 2004). Dalam membicarakan seksualitas tidak terlepas dari istilah seks. Seksualitas berasal dari kata seks, sedangkan arti seks itu sendiri merujuk pada alat kelamin atau kriteria jenis kelamin secara bilologis, dan aktivitas yang berkaitan langsung dengannya (Harris, 1994). Menurut Morgan (1985), pengertian mendasar dari seks adalah perbedaan yang khas antara laki-laki dan perempuan. Senada dengan ini, Asror (2003) mengungkapkan bahwa seks secara kebahasaan mempunyai arti kelamin atau jenis kelamin. Pengertiannya secara luas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin, segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah percampuran antara laki-laki dan perempuan. Seks adalah keadaan anatomis dan biologis yaitu jenis kelamin jantan (male) atau betina (female), sedangkan seksualitas mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, dan sikap atau watak sosial, berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksual (LP3 ES, 1991). Menurut Master dkk., (1992) seks merupakan suatu energi psikis atau kekuatan yang mendorong organisme untuk berbuat sesuatu yang sifatnya seksual, baik untuk tujuan reproduksi maupun tidak. Seksualitas menyangkut lebih luas dari pada sekitar alat kelamin atau hubungan seksual. Seksualitas dapat diartikan sebagai sebuah dimensi kepribadian dan karenanya sulit untuk didefinisikan dengan sempurna. Dimensi ini bisa jadi dimensi biologis; menyangkut aspek fisik dan individu, dimensi psikososial; berkaitan dengan hubungan dengan orang lain, dimensi perilaku; membahas tentang perilaku yang berkaitan dengan seksualitas, dan juga dimensi kultural yaitu seksualitas diletakkan dalam konteks budaya tertentu. Sementara itu Thorburg (1982) berpendapat bahwa seksualitas meliputi karakteristik fisik, dan kapasitas untuk berperilaku seks, dipadukan dengan proses belajar psikososial yaitu mengenai nilai, sikap dan norma sehubungan dengan perilaku tersebut.
Perilaku seksual ini sangat luas sifatnya yaitu dapat merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis, misalnya berdandan, melirik, merayu, menggoda, dan sebagainya; dapat pula berarti perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku, seperti berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, berfantasi, masturbasi, dan sebagainya (Bachtiar, 2004). Menurut Paat (dalarn Suharno, 1992) perilaku seks adalah perilaku yang dihayati oleh segala bentuk manifestasi naluri seksual manusia dalam kehidupannya. Sementara itu Simkins (dalam Widjanarko, 1999) mendefinisikan perilaku seksual sebagai segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk perilaku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai pada tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya dapat orang lain, orang dalam khayalan, atau diri sendiri. Knocx (1988) mendefenisikan perilaku seksual tidak hanya sebagai peristiwa menyatunya alat kelamin laki-laki dan perempuan, tetapi juga diartikan sebagai komunikasi yang terjadi untuk berbagai macam alasan dalam konteks yang berbeda, sebelum menikah, selama menikah, diluar pernikahan dan setelah pernikahan. Asror (2003) mengatakan bahwa perilaku seksual berkenaan dengan ketertarikan seseorang pada erotisitas, sensualitas, pornografi, dan ketertarikan pada lawan jenis.
Menurut Chilman (1983) perilaku seksual itu dimulai dari adanya saling tertarik, lalu timbul rasa cinta yang kemudian diikuti dengan saling memberi respon secara fisik, mulai dari petting sampai bersenggama, yang semua ini diperoleh dari pengalaman pacaran. Perilaku seksual yang dilakukan remaja dalam berpacaran bersifat progresif atau meningkat. Hal ini senada dengan yang dikatakan Broderick dkk., (dalam Santrrock, 2003). Ini berarti bahwa perilaku seksual itu dilakukan secara bertahap mulai dari hal yang ringan sampai yang berat. Perilaku seksual yang dilakukan remaja sebelum menikah yang terwujud dalam berpacaran sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor.

2.3. TINGKATAN (ASPEK) PERILAKU SEKSUAL REMAJA PRANIKAH
Menurut Ikhsan (2003) biasanya orang yang pacaran akan melakukan perilaku- perilaku sebagai berikut: (a) berpegangan tangan, (b) berciuman, (c) pegangan buah dada di atas baju, (d) pegangan buah dada di bawah baju, (e) pegangan alat kelamin di atas baju, (f) pegangan alat kelamin di bawah baju, (g) melakukan senggama, dan (h) melakukan petting. Fenomena ini sudah sering dijumpai pada para remaja yang sedang berpacaran, dan kadangkala sering ditemui fenomena bahwa para remaja yang pacaran naik sepeda motor berdua seperti satu, karena terlalu lengketnya berpelukan tubuh. Hal ini sering dikenal dengan istilah "naik motor partisipatif”. Remaja yang pacaran melakukan ciuman dengan pasangannya dengan alasan untuk mengungkapkan rasa sayang kepada pasangannya. Budaya berciuman ini seakan-akan tidak lagi dianggap tabu oleh para remaja, apalagi itu dilakukan dengan pacar, tetapi mulai dari ciuman inilah perilaku-peritaku yang lain akan menyusul. Menurut Newcomer & Udry (dalam Santrock, 2003) biasanya perilaku seksual itu diawali dengan necking (berciuman sampai ke daerah dada), petting (saling menempelkan alat kelamin), kemudian hubungan intim, atau pada beberapa kasus, seks oral.
Delamater & Mac Corcuodale (dalam Hyde, 1990) mengatakan banhwa perilaku seksual itu dimulai dengan necking, berciuman dibibir, memegang payudara, laki-laki memegang alat kelamin perempuan, perempuan memegang alat kelamin laki-laki, petting, bersenggama, dan oral seks. Menurut Vener dan Stewart (dalam Chilman, 1983) perilaku seksual itu dimulai dari saling berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, necking, petting ringan (masih berpakaian), petting berat (tidak berpakaian), dan bersenggama. Kemudian Diagram Group (1981) dalarn buku “Sex: A user's manual” mengemukakan tahapan-tahapan perilaku seksual secara terperinci, yaitu: (a) pandangan ke tubuh lawan bicara tanpa kontak mata, (b) pandangan ke tubuh lawan bicara dengan kontak mata, (c) berbincang-bincang membandingkan ide, (d) berpegangan tangan (kontak fisik yang pertama), (e) memeluk bahu serta tubuh pasangan lebih didekatkan, (f) memeluk pinggang, tubuh pasangan dirapatkan, (g) ciuman bibir, (h) berciuman bibir sambil berpelukan, (i) necking, (j) petting ringan, (k) petting berat, (1) bersenggama. Sebagian dari perilaku seksual itu tidak memberi dampak yang berarti jika tidak ada akibat fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Pada sebagian perilaku seksual dapat berdampak serius, seperti perasaan bersalah, depresi, marah, misalnya pada para remaja perempuan yang hamil diluar nikah dan terpaksa menggugurkan kandungannya. Akibat psikososial lainnya adalah ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil, juga akan terjadi cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya. Akibat lainnya adalah terganggunya kesehatan dan resiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi (Sarwono, 2002).

2.4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH
Hasil-hasil penelitian maupun teksbook telah menunjukkan banyak sekali faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja yang dapat diklasifikasikan menjadi faktor internal dan eksternal individu.
Faktor internal yang mempengaruhi perilaku seksual remaja antara lain adalah faktor biologis yaitu adanya perubahan-perubahan hormonal yang dapat mengaktifkan atau meningkatkan hasrat seksual remaja sehingga ini dapat mendorongnya untuk berperilaku seksual (Chilman, 1983; Bachtiar, 2004). Halpern & Urdy (dalarn Gillmore, 2002) telah membuktikan dalarn penelitiannya bahwa faktor hormonal mempunyai dampak secara langsung pada perilaku seksual remaja, walaupun hanya sedikit kira-kira 5 % - 10 %. Faktor kepribadian, seperti harga diri, kontrol diri, tanggung jawab, kemampuan membuat keputusan, dan nilai-nilai yang dimiliki juga dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Individu yang memiliki harga diri positif mampu mengelola dorongan dan kebutuhannya secara memadai, memiliki penghargaan yang kuat terhadap diri sendiri dan orang lain, mampu mempertimbangkan resiko perilaku sebelum mengambil keputusan, mampu bergaul dengan sehat dan proporsional, dan dapat menyalurkan dorongan seksual secara sehat dan bertanggung jawab (Bachtiar, 2004). Hasil penelitian Gillmore (2002) menyatakan bahwa faktor-faktor kognitif juga dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja, sehingga ini akan menentukan pengambilan keputusannya dalam hal seks. Keterampilan interpersonal juga termasuk dalam faktor kepribadian yang mempengaruhi perilaku seksual remaja. Remaja yang kurang asertif (terutama perempuan), tidak mampu untuk mengatakan "tidak" akan lebih rentan terjadinya perilaku seksual dan akan berlanjut pada hubungan seksual (Pillai, dkk, 1992). Remaja yang kurang mampu mengkomunikasikan hal-hal yang diinginkan dan yang tidak diinginkan dalam hubungan personalnya, akan cenderung terlibat dalam perilaku seksual. Sikap remaja yang permisif juga akan mempengaruhi perilaku seksualnya (Chilman,
1983). Motivasi pacaran juga merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja, karena menurut Sarwono (1993) faktor yang beperan dalam pembentukan dan perubahan perilaku berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup motivasi, persepsi dan emosi, sedangkan faktor internal mencakup aspek sosial budaya, komunikasi atau interaksi antar individu, sumber daya yang dapat dimanfaatkan, dorongan/motivasi untuk berbuat dari orang lain atau lingkungan sosial.
Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja yang berasal dari luar diri individu antara lain keluarga, yang mencakup tiga hal yaitu: (a) ciri-ciri struktural dan kontekstual keluarga (pendidikan orang tua, status perkawinan, susunan saudara kandung); (b) proses keluarga, hubungan-hubungan dengan keluarga (dukungan, kontrol, atau pengawasan orangtua terhadap remaja); (c) hereditas (Miller, 2002). Struktur yang ada dalarn keluarga dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Berkaitan dengan status perkawinan orangtua, remaja yang tinggal dengan single parent (Miller, dkk., dalam Miller 2002) dan orangtua tiri (Upchurch dkk, 1999) dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Mereka akan lebih cepat terlibat dalam hubungan seksual. Miller (2002) mengatakan bahwa remaja yang memiliki kakak kandung yang aktif secara seksual atau hamil diluar nikah atau sudah mempunyai anak, status sosial ekonomi keluarga yang rendah, juga merupakan indikator terlibatnya remaja dalam perilaku seksual. Proses keluarga atau hubungan antara orangtua-remaja, seperti dukungan, pengawasan, kedekatan, kehangatan orangtua-remaja dalam keluarga dapat mengurangi tingkat perilaku seksual remaja yang ditandai dengan rendahnya resiko keharnilan yang tidak diinginkan. Senada dengan hal ini, Davis & Friel (2001) mengatakan bahwa hubungan ibu-anak, intensitas interaksi mereka, dan sikap ibu terhadap seks, juga berhubungan dengan perilaku seksual remaja. Kemudain Mott dkk., (dalam Miller, 2002) mengatakan bahwa faktor hereditas yang mempengaruhi perilaku seksual remaja berkaitan dengan seorang ibu yang berhubungan seksual diusia muda dapat memprediksikan bahwa anaknya juga akan berperilaku seksual seperti itu sebelum usia 14 tahun. Mc Bridge dkk., (2003) mengungkapkan bahwa konflik yang terjadi dalam keluarga juga dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Remaja yang banyak memiliki konflik dalam keluarga akan lebih cepat ikut terlibat dalam perilaku seksual. Faktor eksternal berikutnya yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah program sekolah. Kirby (2002) mengatakan bahwa program-program yang ada di sekolah, seperti pemberian pendidikan seks dan STD/HIV dapat berpengaruh pada perilaku seksual remaja, yaitu akan dapat terjadi penundaan melakukan perilaku seksual, mengurangi frekuensi perilaku seksual, mengurangi kehamilan dan childbearing. Kelompok referensi sosial, seperti teman sebaya, pendidikan, lingkungan sosial, usia, frekuensi kencan dalam pacaran, cinta, status social ekonomi keluarga, dan agama, menurut Chilman (1983) merupakan faktor ekstemal yang juga mempengaruhi perilaku seksual remaja. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa perilaku seksual meningkat dengan meningkatnya usia, begitu juga dengan frekuensi pacaran atau kencan dan orang yang saling mencintai (Delamater dkk., dalam Chilman, 1983). Hasil penelitian Fores, dkk, (2002) telah membuktikan bahwa pacaran memang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku seksual pada remaja, jika pacaran ditunda, maka terjadinya perilaku seksual pada remaja juga tertunda. Teman sebaya juga sangat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Remaja yang memiliki teman sebaya yang permisif dan aktif secara seksual, akan dapat mempengaruhi perilaku seksualnya juga (Carn dkk., dalam Chilman, 1983). Agama sebagai salah satu kontrol sosial berperan penting dalam setiap segi kehidupan manusia. Begitu juga dengan perilaku seksual remaja saat ini, agama dapat berperan sebagai kontrol perilakunya, sehingga tidak melanggar norma-norma agama yang telah ada. Menurat Bachtiar (2004) orang yang memiliki pemahaman dan penghayatan yang kuat terhadap nilai-nilai keagamaan, memiliki integritas yang baik, akan mampu menampilkan perilaku seksual yang sesuai dengan nilai yang diyakininya serta mencari kepuasan dari perilaku yang produktif. Lauman dkk., (dalam Kelly, 2001) mengatakan bahwa orang yang memiliki keagamaan yang tinggi akan selalu mempertimbangkan perilaku-perilaku seksual mereka sesuai dengan nilai-nilai agama yang mereka anut. Orang yang menghayati nilai-nilai keagamaannya, memiliki integritas yang tinggi terhadap agamanya, merupakan ciri orang yang memiliki kematangan beragama, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kematangan beragama juga berperan dalam perilaku seksual remaja. Senada dengan hal ini, Billy dkk (dalam Kelly, 2001) mengatakan bahwa orang yang tidak mengikuti organisasi agama akan cenderung terlibat dalam perilaku seksual yang beresiko. Demikian juga halnya dengan pendidikan, individu yang memiliki prestasi pendidikan yang tinggi dan mempunyai tujuan pendidikan yang jelas dapat mengurangi intensitas perilaku seksual, seperti hubungan seksual (Gebhard, dkk., dalam Chilman, 1983). Secara teoritis, remaja yang prestasi dan aspirasinya rendah akan cenderung lebih sering memunculkan aktivitas seksual dibandingkan dengan remaja yang mempunyai prestasi baik (Bachtiar, 2004).
Tingkat pendidikan juga dapat memprediksi perilaku seksual remaja, karena berdasarkan hasil penelitian Kraaykamp (2002) menunjukkan bahwa individu yang memiliki pendidikan tinggi akan memiliki sikap permisif terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja dibanding individu yang kurang berpendidikan. Media massa seperti tabloid-tabloid, majalah-majalah yang memuat cerita-cerita dan gambar-gambar porno, internet yang banyak memuat situs-situs porno, dapat juga mempengaruhi perilaku seksual remaja. Remaja yang berada pada masa-masa berkhayal dan berfantasi akan bergolak syahwatnya ketika membaca bacaan-bacaan porno dan menyaksikan garnbar-gambar porno yang dijual bebas di pasaran, sehingga remaja dapat begitu bebas pula membelinya. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah VCD porno (blue film) yang mengumbar hubungan lawan jenis dapat merusak moral remaja, sehingga perilaku merekapun ingin mencoba apa yang telah ditontonnya, sehingga ini mempengaruhi gaya pacaran remaja yang begitu berani (Al-Adawiyyah, 2004).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja dalam berpacaran adalah pertama faktor yang berasal dari dalam diri individu yang mencakup faktor biologis, kepribadian, kognitif, dan motivasi pacaran. Faktor kedua adalah yang berasal dari luar diri individu, yang mencakup faktor keluarga seperti suasana keluarga, hubungan orangtua-anak, dan lain-lain; pendidikan seks, tingkat pendidikan, usia, frekuensi pacaran/kencan, teman sebaya, kematangan beragama, media massa, dan VCD porno.



B. KONFORMITAS


2.5. PENGERTIAN KONFORMITAS
Fuhrmann (1990) mendefinisikan konformitas sebagai kecenderungan untuk menerima dan melakukan standar dari norma-norma yang dimiliki oleh kelompok. Chaplin (2001) memberikan definisi konformitas sebagai berikut: (a) kecenderungan untuk memperoleh satu tingkah laku yang dikuasai oleh sikap, pendapat yang sudah berlaku; (b) ciri pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya. Morton (dalam Sarwono, 2000) mendefinisikan konformitas sebagai sikap menerima nilai- nilai dan norma- norma dari lembaga masyarakat tertentu.
Perilaku konformitas menurut Aronson (dalam Purwanto, 1999) dapat diartikan sebagai tingkah laku atau keyakinan seseorang akibat tekanan yang bersifat nyata atau imajinatif dari seseorang atau sekelompok orang. Sears dkk (1985) memberikan definisi konformitas adalah menampilkan suatu tindakan tertentu karena orang lain yang menampilkannya karena adanya tekanan dari kelompok. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan yang dimaksud dengan konformitas adalah kecenderungan individu untuk menyesuaikan diri dengan kelompok serta nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di dalamnya dengan harapan agar dapat diterima secara sosial dan dapat terhindar dari celaan dan tekanan kelompok, baik yang bersifat nyata maupun yang bersifat imajinatif meskipun kadangkala hal tersebut bertentangan dengan keyakinan yang dimilikinya.

2.6. SEBAB-SEBAB TERJADINYA KONFORMITAS
Konformitas seringkali bersifat adaptif karena seseorang memang perlu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain dan juga karena tindakan orang lain tersebut dapat memberikan informasi cara yang paling baik untuk bertindak dalam keadaan tertentu. Seringkali orang lain mengetahui sesuatu yang kita tidak ketahui, dengan melakukan apa yang mereka lakukan kita akan memperoleh manfaat dari pengetahuan mereka (Sears dkk, 1985). Menurut Sears dkk (1985) ada dua alasan utama mengapa seseorang menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok, yaitu: (a) meniru perilaku orang lain, disebabkan perilaku orang tersebut memberikan informasi yang bermanfaat. Seseorang akan memperoleh manfaat dan pengetahuan baru dengan melakukan apa yang dilakukan oleh orang lain dengan kata lain orang lain secara tidak langsung memberikan informasi dan pengetahuan yang baru ; (b) ingin diterima secara sosial dan menghindari celaan, individu berusaha memperoleh persetujuan dari kelompoknya.
Kelman (dalam Baron & Byrne, 1991) mengemukakan bahwa seseorang menjadi konform disebabkan oleh tiga tingkatan pengaruh sosial, yaitu: (a) pemaksaan, merujuk pada penampilan, tingkah laku, pernyataan atau kepercayaan yang bertujuan untuk mendapatkan penghargaan dan menjauh dari hukuman. Langkah pemaksaan ini bertujuan untuk menimbulkan konformitas; (b) identifikasi, tingkat pengaruh sosial yang didasarkan pada kemauan seseorang untuk terpengaruh. Apabila seseorang melihat orang lain menampilkan sesuatu yang menarik maka akan diikuti oleh objek tersebut dengan bertingkah laku yang sama; (c) internalisasi, tingkat pengaruh sosial pada bagian ini adalah yang paling dalam dan bersifat permanen. Keyakinan akan keberadaan nilai- nilai yang diyakini sebagai suatu yang hakiki. Seseorang melakukan konformitas karena yakin akan keberadaan sesuatu nilai yang ada pada orang lain.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa sebab orang melakukan konformitas yaitu: individu akan meniru tingkah laku orang lain karena orang lain tersebut dapat memberikan informasi yang bermanfaat, agar dapat diterima secara sosial, terhindar dari celaan, karena adanya pemaksaan, identifikasi, dan internalisasi.

2.7. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONFORMITAS
Konformitas merupakan salah satu akibat dari pengaruh sosial yang terjadi ketika penilaian, opini maupun sikap seseorang berubah karena dihadapkan pada opini, penilaian dan sikap orang atau kelompok lain (De Montmollin, dalam Iskandar, 2001). Inti dari konformitas itu sendiri adalah pengaruh dari kelompok yang mengakibatkan terjadinya penyesuaian, karena menurut Krech dkk (dalam Iskandar, 2001) adanya konformitas dipengaruhi oleh tindakan atau perilaku individu akan adanya tekanan kelompok yang timbul karena konflik antara pendapatnya dengan pendapat kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Asch (dalam Sears dkk, 1985) menemukan fakta dalam penelitiannya bahwa dalam kelompok subjek mendapatkan tekanan yang besar meskipun tekanan tersebut tidak terlihat. Hasil ini mengungkapkan juga bahwa tekanan kelompok akan membuat remaja konformis dengan norma kelompok.
Sears dkk (1985) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konformitas, yaitu: (a) kekompakkan kelompok, yaitu kedekatan dan keeratan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Semakin besar rasa suka antara anggota yang satu terhadap anggota yang lain dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok tersebut, serta semakin besar kesetiaan, akan semakin kompak kelompok itu. Kekompakkan yang tinggi akan menimbulkan konformitas yang semakin tinggi pula; (b) kesepakatan kelompok, kebulatan keputusan yang telah diambil oleh suatu kelompok akan memberikan tekanan yang kuat pada anggotanya agar menye suaikan pendapatnya. Namun bila kelompok tidak bersatu akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas; (c) ukuran kelompok, konformitas meningkat apabila ukuran mayoritas yang sependapat juga meningkat atau peningkatan konformitas akan terjadi apabila uk uran kelompok yang sependapat meningkat; (d) keterikatan pada penilaian bebas, keterikatan didefinisikan sebagai kekuatan total yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk melepaskan suatu pendapat. Keterikatan yang semakin kuat akan semakin menurunkan konformitas, sebaliknya keterikatan yang lemah akan membuat meningkatnya konformitas; (e) ketiadaan rasa percaya diri individu, adanya rasa percaya diri yang tinggi akan melemahkan tingkat konformitas, karena kemudian kelompok bukan lagi merupakan sumber informasi yang unggul lagi; (f) kepercayaan terhadap kelompok, semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Bila individu tersebut berpendapat bahwa kelompok selalu benar, maka individu tersebut akan mengikuti apapun yang dilakukan kelompok tanpa mempedulikan pendapatnya sendiri; (g) kurangnya informasi, bila kelompok memiliki informasi penting bagi individu maka konformitas semakin meningkat diantara keduanya.
Berdasarkan beberapa hal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konformitas pada individu antara lain: adanya kekompakkan kelompok, kesepakatan kelompok, ukuran kelompok, keterikatan pada penilaian bebas, ketiadaan rasa percaya diri dalam diri individu, kepercayaan terhadap kelompok, dan kurangnya informasi yang dimiliki kelompok.


C. HUBUNGAN ANTAR VARIABEL

2.8. Konformitas dan Perilaku Seksual Remaja
Motivasi merupakan penggerak perilaku. Hubungan antar kedua konstruk ini cukup kompleks, antara lain dapat dilihat sebagai berikut : Motivasi yang sama dapat saja menggerakkan perilaku yang berbeda, demikian pula perilaku yang sama dapat saja diarahkan oleh motivasi yang berbeda. Motivasi tertentu akan mendorong seseorang untuk melakukan perilaku tertentu pula. Pada seorang remaja, perilaku seks pranikah tersebut dapat dimotivasi oleh rasa sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas (menurut Sternberg hal ini dinamakan romantic love); atau karena pengaruh kelompok (konformitas), dimana remaja tersebut ingin menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah dianut oleh kelompoknya, dalam hal ini kelompoknya telah melakukan perilaku seks pranikah.
Cukup naïf bila kita tidak menyinggung faktor lingkungan, yang memiliki peran yang tidak kalah penting dengan faktor pendorong perilaku seksual pranikah lainnya. Faktor lingkungan ini bervariasi macamnya, ada teman sepermainan (peer-group), pengaruh media dan televisi, bahkan faktor orang tua sendiri. Oleh karena penelitian ini memfokuskan diri pada konformitas pada teman sebayanya, maka pembahasan akan dibatasi hanya dalam lingkup tersebut.
Pada masa remaja, kedekatannya dengan peer-groupnya sangat tinggi karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi. Maka tak heran bila remaja mempunyai kecenderungan untuk mengadopsi informasi yang diterima oleh teman-temannya, tanpa memiliki dasar informasi yang signifikan dari sumber yang lebih dapat dipercaya. Informasi dari teman-temannya tersebut, dalam hal ini sehubungan dengan perilaku seks pranikah, tak jarang menimbulkan rasa penasaran yang membentuk serangkaian pertanyaan dalam diri remaja. Untuk menjawab pertanyaan itu sekaligus membuktikan kebenaran informasi yang diterima, mereka cenderung melakukan dan mengalami perilaku seks pranikah itu sendiri.
Manusia pada dasarnya, termasuk remaja pada dasarnya mempunyai naluri untuk berhubungan dengan sesamanya. Hubungan yang berkesinambungan tersebut menghasilkan pola pergaulan yang dinamakan pola interaksi. Pergaulan tersebut menghasilkan pandangan – pandangan mengenai kebaikan dan keburukan. Pandangan-pandangan tersebut merupakan nilai-nilai manusia, yang kemudian sangat berpengaruh terhadap cara dan pola pikirnya (Soekanto, 2002: 117). Terpengaruh atau tidaknya individu bisa dilihat penerimaan dalam artian kecenderungan penyesuaian dirinya dengan norma kelompok atau lingkungan, tempat dia berada. Kecenderungan tersebut disebut dengan konformitas.
Fuhrmann (1990) mendefinisikan konformitas sebagai kecenderungan untuk menerima dan melakukan standar dari norma-norma yang dimiliki oleh kelompok. Chaplin (2001) memberikan definisi konformitas sebagai berikut: (a) kecenderungan untuk memperoleh satu tingkah laku yang dikuasai oleh sikap, pendapat yang sudah berlaku; (b) ciri pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya. Morton (dalam Sarwono, 2000) mendefinisikan konformitas sebagai sikap menerima nilai- nilai dan norma- norma dari lembaga masyarakat tertentu. Perilaku konformitas menurut Aronson (dalam Purwanto, 1999) dapat diartikan sebagai tingkah laku atau keyakinan seseorang akibat tekanan yang bersifat nyata atau imajinatif dari seseorang atau sekelompok orang. Sears dkk (1985) memberikan definisi konformitas adalah menampilkan suatu tindakan tertentu karena orang lain yang menampilkannya karena adanya tekanan dari kelompok.
Remaja bisa jadi beranggapan bahwa perilaku seks bebas adalah salah satu cara untuk mendapatkan predikat remaja gaul. Di zaman moderen saat ini, pacaran sudah merupakan tren dan kebutuhan dikalangan remaja, baik itu yang tinggal di desa maupun di kota, yang berstatus pelajar, mahasiswa ataupun bukan, jika tidak punya pacar, akan merasa sedih, malu pada teman-teman yang sudah punya pacar, tidak percaya diri, merasa tidak laku, dan lain-lain. Sebaliknya, jika punya pacar, akan muncul rasa bangga, rasa percaya diri karena merasa telah mengikuti tren remaja sekarang. Hal ini sesuai dengan hasil survei awal yang pernah penulis lakukan dengan wawancara terhadap 20 orang remaja akhir berusia 19-21 tahun (10 laki-laki dan 10 perempuan) yang berstatus mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 12 Desember 2004. Berdasarkan wawancara tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa para remaja menganggap bahwa pacaran itu penting bagi mereka. Jadi, dalam hal ini, remaja dalam hal perilaku seksual bisa jadi melakukannya dalam rangka penyesuaian diri dengan kelompok serta nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di dalamnya dengan harapan agar dapat diterima secara sosial dan dapat terhindar dari celaan dan tekanan kelompok, baik yang bersifat nyata maupun yang bersifat imajinatif meskipun kadangkala hal tersebut bertentangan dengan keyakinan yang dimilikinya.


D. KERANGKA PIKIR















E. HIPOTESA PENELITIAN


Hipotesa penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Hipotesa Mayor
Ada pengaruh konformitas terhadap perilaku seksual remaja di Kota Palopo, Provinsi Selatan, Indonesia.
b. Hipotesa Minor
Semakin tinggi konformitas maka semakin tinggi pula (kualitas) perilaku seksual remaja pranikah (Korelasi positif).
BAB III
METODE PENELITIAN



3.1. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Penelitian ini mengangkat dua variabel, yaitu satu variabel terikat (Dependent Variable) dan satu variabel bebas (Independent variable). Berikut perinciannya:
Variabel Terikat (Dependent Variable) : Perilaku Seksual Pranikah
Variabel Bebas (Independent Variable) : Konformitas

3.2. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
1. Perilaku seksual pranikah
Perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku seksual responden dengan pasangannya dalam pacaran yang tercermin dalarn tahap-tahap perilaku seksual, dari tahap yang paling ringan hingga tahap yang paling berat (hubungan seksual). Dalarn penelitian ini perilaku seksual diukur dengan menggunakan skala perilaku seksual. Semakin tinggi skor yang diperoleh responden, semakin tinggi pula tingkat perilaku seksualnya dalam berpacaran, semakin rendah skor y diperoleh responden, sernakin rendah pula tingkat perilaku seksual pranikahnya.
2. Konformitas
Konformitas adalah kecenderungan individu untuk menyesuaikan diri dengan kelompok serta nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di dalamnya dengan harapan agar dapat diterima secara sosial dan dapat terhindar dari celaan dan tekanan kelompok, baik yang bersifat nyata maupun yang bersifat imajinatif meskipun kadangkala hal tersebut bertentangan dengan keyakinan yang dimilikinya. Hal tersebut termanifestasi dalam skor skala konformitas. Semakin tinggi skor yang diperoleh individu menandakan bahwa tingkat konformitas yang tinggi, demikian pula sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah pula tingkat konformitasnya.



3.3. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Populasi adalah kelompok subjek yang akan dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2002). Menurut Danim (2000) populasi adalah universurn yang dapat berupa orang, benda, atau wilayah yang ingin diketahui oleh peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang berstatus mahasiswa, laki-laki dan perempuan, duduk pada semester lima dan tujuh, berusia 19-21 tahun, dan sedang berpacaran. Dipilihnya Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga sebagai ternpat penelitian karena beberapa pertimbangan yaitu: (1) salah satu tugas pokok Universitas Islam Negeri (UIN) adalah melaksanakan pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan agama. Sebagai salah satu perguruan tinggi yang bemaung di bawah Departemen Agama, maka diharapkan mahasiswa UIN betul-betul dapat mengaplikasikan ilmu agama yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari; (2) karena mahasiswa UIN yang juga berstatus remaja akhir diasumsikan banyak yang pacaran dan gaya pacaran mereka sudah dapat dikatakan mengkhawatirkan.
Adapun pemilihan remaja akhir yang bersatus mahasiswa sebagai populasi penelitian karena pertimbangan : (1) Perkembangan biologis pada masa ini adalah individu telah mengalami kematangan seksual yang sempurna mampu merasakan stimulus seksual dan meresponnya sesuai dengan keinginannya; (2) pada masa ini individu telah mengalami perkembangan kognitif pada tahap operasional formal, sehingga mereka telah mampu berfikir abstrak dan logis dalam mengambil keputusan.

Ukuran sampel dan teknik sampling
Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel secara simple random sampling yaitu cara pengambilan sampel yang mengambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Masri Singarimbun, 1989).

3.4. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode dalam penelitian sosial mendapat peran yang sangat penting karena metodologi merupakan cetak biru (blue print) bagi kegiatan penyelidikan dan menetapkan bagaimana hendaknya penyelidik menguji hipotesis-hipotesis, mempelajari subjek atau menerangkan lingkungan sosial.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survey dengan jenis penelitian penjelasan (explanatory atau confirmatory research), yaitu untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa (testing research), dengan didukung oleh uraian deskriptif.
Penelitian menitikberatkan pada analisa-analisa kuantitatif yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data (Masri Singarimbun, 1989). Walaupun secara pokok metode yang digunakan adalah kuantitatif, namun kerangka berpikir logis (commense) yang berkembang di dalam dialektika masalah ini, tetap diajukan sebagai acuan berpikir, yang menguji hubungan antara thesis dalam hipotesa yang ada.
Teknik pengumpulan data yang digunakan sesuai dengan golongan data primer dan sekunder. Adapun yang termasuk data primer dan sekunder adalah sebagai berikut:

Data Primer
a. Skala Psikologis
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan skala psikologis. Skala psikologis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua skala yang bertujuan untuk mengungkap kedua variabel yang akan diukur. Perilaku seksual pranikah diungkap dengan skala perilaku seksual Pranikah (SPSPN).
1. Skala perilaku seksual Pranikah (SPSPN)
Skala perilaku seksual pranikah (SPSPN) yang digunakan di dalam penelitian ini adalah skala yang telah disusun oleh Linda Yarni dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 2005. Skala ini telah dipergunakan dalam penelitian yang berjudul “Perilaku Seksual Remaja Dalam Berpacaran Ditinjau Dari Kematangan Beragama Dan Motivasi Pacaran yang Berorientasi Keintiman Fisik dan Emosional”. Penelitian ini melibatkan 166 subjek penelitian.
Skala ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana perilaku seksual remaja selama mereka pacaran. Skala ini terdiri dari 11 aitem yang disusun berdasarkan tingkatan perilaku seksual yang sudah diuraikan pada tinjauan pustaka. Skala ini disusun dengan urutan sebagai berikut: (a) bergandengan tangan terdiri dari satu aitem, (b) memeluk pinggang, pundak atau bahu terdiri dari dua aitem, (c) cium kening atau pipi terdiri dari satu aitem, (d) cium bibir terdiri dari satu aitem, (e) Cium leher terdiri darii satu aitem, (f) saling meraba bagian tubuh sensitif dalam keadaan berpakaian terdiri dari satu aitem, (g) saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian (petting ringan) terdiri dari satu aitem, (h) saling meraba bagian tubuh sensitif tanpa pakaian terdiri dari satu aitem, (i) saling menempelkan alat kelamin tanpa pakaian (petting berat) terdiri dari satu aitem, (j) Senggama terdiri dari satu aitem.
Pengukuran skala perilaku seksual Pranikah (SPSPN) dilakukan dengan menggunakan bentuk skalogram Guttman (dalam Nazir 2003). Asumsi yang dipakai adalah bahwa responden yang memberikan respon "telah melakukan senggama", maka sebenamya dia telah melakukan perilaku di atasnya. Cara penilaiannya adalah ke-11 urutan perilaku seksual yang disajikan dalam skala ini memiliki nilai 1 untuk respon positif (telah melakukan perilaku seksual), dan nilai 0 untuk respon negatif (tidak melakukan perilaku seksual), yang nantinya responden dapat memilih perilaku mana saja yang telah dilakukan dalam pacaran, untuk kemudian dijumlahkan.

Tabel 1
Kisi-Kisi Skala Perilaku Seksual Remaja Pranikah

No Aspek-Aspek Aitem
1 Berpegangan/ bergandengan tangan 1
2 Memeluk/ dipeluk pinggang 2
3 Memeluk/ dipeluk pundak atau bahu 3
4 Cium/ dicium kening atau pipi 4
5 Berciuman bibir 5
6 Cium/ dicium leher 6
7 Saling meraba bagian tubuh sensitif dalam keadaan berpakaian 7
8 Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian (petting ringan) 8
9 Saling meraba bagian tubuh sensitif tanpa pakaian 9
10 Saling menempelkan alat kelamin tanpa pakaian (petting berat) 10
11 Senggama 11
Jumlah 11


2. Skala Konformitas
Skala konformitas yang digunakan di dalam penelitian ini adalah skala yang telah disusun oleh Alma Yulianti dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 2003. Skala ini telah dipergunakan dalam penelitian yang berjudul “Konformitas Ditinjau Dari Identitas Diri Remaja Etnis Melayu Dan Cina Di Kota Tanjungpinang”. Penelitian ini melibatkan 188 subjek penelitian.
Skala konformitas ini disusun dengan mengacu pada konsep Sears dkk (1985). Skala ini melibatkan tiga aspek, yaitu: menyeragamkan diri dengan kelompok, harapan untuk diterima menjadi anggota kelompok dan mengikuti norma-norma yang digariskan oleh kelompok. Masing-masing aitem berbentuk favourable dan unfavourable. Pilihan yang disediakan ada 4 (empat) yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS).
Untuk aitem favourable, skor bergerak dari 4 untuk sangat sesuai, 3 untuk sesuai, 2 untuk tidak sesuai, dan 1 untuk sangat tidak sesuai. Demikian juga sebaliknya untuk unfavourable, skor 4 untuk sangat tidak sesuai , 3 untuk tidak sesuai, 2 untuk sesuai, dan skor 1 untuk sangat sesuai. Keseluruhan butir skala konformitas terdiri dari 32 aitem. Berikut ini disajikan tabel penyebaran butir-butir skala konformitas.

Table 2
Distribusi Aitem Skala Konformitas

Aspek Nomer Aitem Jumlah
Favourable Unfavourable
Menyeragamkan diri dengan
kelompok 1,14,33,
35,42 4,9,13,20,
30,37 11
Harapan untuk diterima menjadi
anggota kelompok 15,18,19,
25,29 5,7,11,26,
27,32 11
Mengikuti norma-norma kelompok 2,28,31,34,
36,38 8,23,
40,41 10
Jumlah 32


Definisi masing-masing aspek di atas adalah sebagai berikut : (a) menyeragamkan diri dengan kelompok, maksudnya individu selalu berusaha untuk berperilaku dan berpendapat sama dengan teman-teman sebayanya; (b) harapan untuk dapat diterima menjadi anggota kelompok, artinya individu dalam melakukan sesuatu hal terdorong dari keinginan dan harapan agar tidak dikucilkan oleh kelompok sebaya serta dapat diterima dalam pergaulan dengan teman sebaya; (c) mengikuti norma-norma kelompok, artinya individu berusaha mematuhi dan melaksanakan tindakan, perilaku serta kegiatan-kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan yang dianggap sebagai aturan yang tidak tertulis yang memang harus dipatuhi dan dilaksanakan dalam kelompok.
b. Wawancara
Yaitu suatu proses Tanya jawab secara lisan, di mana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengarkan dengan telingan sendiri suaranya (Sutrisno Hadi, 1987).

Data Sekunder
a. Studi Pustaka
Diperoleh melalui buku-buku yang berhubungan dengan topik penelitian dan dijadikan sebagai acuan serta sumber informasi.
b. Dokumentasi
Berupa tulisan atau artikel dari media massa, dalam bentuk klipping, artikel yang berkaitan dengan tema yang dibahas.
c. Informasi/ data yang diperoleh dari lapangan.

3.5. Validitas dan Reliabilitas
Setiap usaha pengukuran senantiasa diarahkan untuk mencapai tingkat objektifitas hasil yang tinggi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai hal itu adalah melalui pemeliharaan atau penyusunan alat ukur yang memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang memadai.
Skala yang akan digunakan dalam penelitian ini lebih awal dilakukan try out (uji coba) dengan maksud memperoleh item- item yang valid dan reliabel, sehingga tidak terjadi kekeliruan skala dalam mengungkap atribut-atribut yang diukur.

1. Validitas
Validitas adalah seberapa jauh alat pengukur dapat mengungkapkan dengan jitu gejala- gejala atau bagian gejala yang hendak diukur seberapa jauh alat pengukur dapat menunjukkan dengan sebenarnya status, keadaan gejala, atau bagian gejala yang diukur (Hadi, 2000).
Adapun validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas isi ditentukan melalui pendapat profesional dalam telaah item dengan menggunakan spesifikasi tes yang sudah ada (Suryabrata, 2003). Analisis validitas dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dengan mencari korelasi antara nilai tiap butir dengan nilai total. Dari sini bias ditentukan butir mana saja yang valid. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui butir valid/tidak adalah nilai correted item-total correlation lebih besar dari 0,3 (Suryabrata, 2003). Uji validitas menggunakan komputer program SPSS 12 for windows.
Validitas butir setiap skala dapat dilihat sebagai berikut:

a. Skala Perilaku Seksual Pranikah
Total butir skala perilaku seksual pranikah berjumlah 11 aitem, memiliki koefisien korelasi aitem validitas yang bergerak antara 0,3429 sampai dengan 0,7489.
b. Skala Konformitas
Total butir skala konformitas berjumlah 32 aitem, memiliki koefisien korelasi aitem validitas yang bergerak dari 0,3285 sampai dengan 0,4964.

2. Reliabilitas
Reliabilitas (keandalan) mempunyai nama lain seperti keterpercayaan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan lain-lain, namun ide pokok yang terkandung dalam keandalan adalah sejauh mana suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2001). Reliabilitas ini ditunjukkan oleh konsistensi skor yang diperoleh subjek dengan memakai alat yang sama (Suryabrata, 2000). Hal tersebut dinyatakan dalam koefisien reliabilitas dengan angka 0-1. Semakin tinggi koefisien dengan mendekati angka 1 berarti reliabilitas alat ukur semakin tinggi pula. Sebaliknya reliabilitas yang rendah ditunjukkan dengan koefisien reliabilitas yang mendekati angka 0 (Azwar, 2000). Pada penelitian ini koefisien reliabilitas skala diperoleh dengan menggunakan tekhnik korelasi Alpha Cronbach pada SPSS 12 for Windows.
Reliabilitas setiap skala dapat dilihat sebagai berikut:
a. Skala Perilaku Seksual Pranikah
Koefisien reliabilitas skala perilaku seksual remaja pranikah (SPSPN) dengan jumlah butir 11 aitem, diperoleh nilai koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,8719.
b. Skala Konformitas
Koefisien reliabilitas skala konformitas dengan jumlah butir 32 aitem, diperoleh nilai koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,8672.
3.6. TEKNIK PENGUJIAN HIPOTESA
1. Korelasi Product Moment
Digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variable yang satu dengan variable yang lain, dan untuk mengetahui besar kecilnya hubungan antara Hal ini nantinya diketahui dengan bantuan software SPSS 12 for Windows.
Dalam teknik ini terdapat tiga macam karakter hubungan, yaitu:
a. Level of significant, yaitu tingkat hubungan antara dua variable yang mencerminkan hubungan yang ditetapkan menurut tingkat kemungkinan kesalahan (sampling error).
b. Streght (tingkat soliditas), bahwa suatu korelasi diukur dari besarnya koefisien korelasi yang disesuaikan dengan daftar kategori hubungan yang disusun oleh Winarno Surachmad (1978:20), sebagai berikut:

0,00 – 0,20 : hubungan lemah sekali
0,21 – 0,40 : hubungan lemah
0,41 – 0,70 : hubungan sedang
0,71 – 0,90 : hubungan kuat
0,91 – 1,00 : hubungan kuat sekali

c. Direction (arah hubungan)
Dalam teknik ini terdapat tiga macam arah hubungan, yaitu:
1. Korelasi positif, yaitu korelasi antara dua variable yang berjalan sejajar atau searah, artinya semakin tinggi variable X, maka semakin tinggi pula variable Y.
2. Korelasi negative, yaitu korelasi antara dua variable yang berlawanan arah, artinya semakin tinggi variable X, semakin rendah variable Y. Demikian pula sebaliknya.
3. Korelasi nihil (tidak berkorelasi).





2. Regresi linear
a. Koefisian determinasi
Analisis ini digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variable bebas secara bersama-sama terhadap variable terikat. Hal ini nantinya diketahui dengan bantuan software SPSS 12 for Windows.
b. Persamaan Garis Regresi
Persamaan garis regresi dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan prediksi dan mengetahui besarnya pengaruh dari variable bebas secara simultan terhadap variable terikat. Dengan cara ini akan diketahui besarnya perubahan pada setiap variable bebas (predictor). Hal ini nantinya diketahui dengan bantuan software SPSS 12 for Windows.
c. Kecermatan Prediksi
Untuk mengetahui cermat tidaknya prediksi hubungan antara variable penelitian dengan cara membandingkan standar deviasi kriterium (sdy) dengan standar error of estimation (SE est). Hal ini nantinya diketahui dengan bantuan software SPSS 12 for windows.
d. Analisis Sumbangan Relatif (SR) dan Sumbangan Efektif (SE)
Untuk mengukur besarnya pengaruh setiap variable bebas terhadap variable terikat dan untuk mengetahui variable bebas secara dominan terhadap variable terikat. Hal ini nantinya diketahui dengan bantuan software SPSS 12 for Windows.
e. Uji Residu
Untuk mengetahui kemungkinan variable lain yang belum diungkapkan dalam penelitian, yang dapat mempengaruhi variable terikat.

3.7. TINGKAT SIGNIFIKANSI
Digunakan 1% dan seandainya tidak signifikan pada tingkat tersebut, maka akan dicoba mengetesnya dengan taraf uji 5%.












1. Alat Ukur Skala Psikologi Perilaku Seksual Pranikah
2. Alat Ukur Skala Psikologi Konformitas
3. Wawancara Terstruktur

PENELITIAN KOLEKTIF NO.RESPONDEN: ………
PROGRAM KERJA P3M YANG DIBIAYAI OLEH DIPA 2009
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PALOPO


Berkaitan dengan penelitian ini, maka kami memohon kesediaan saudara/i untuk menjawab pertanyaan/ pernyataan yang telah kami sediakan. Kami sangat memohon saudara/i untuk dapat memberikan jawaban yang sejujurnya dan sesuai dengan keadaan saudara/i sekalian dengan cara mengisi seluruh nomor pertanyaan karena tidak ada jawaban yang dinilai salah, semua jawaban yang saudara/i berikan adalah benar.
Pertanyaan/ pernyataan yang kami ujukan ini berhubungan dengan kehidupan saudara/i. Untuk itu, segala hal yang bersifat pribadi dari saudara/i, kami akan menjamin kerahasiaannya, apapun taruhannya.
Atas kerjasamanya dan bantuan saudara/i, kami ucapkan terima kasih.

Peneliti,

Amrul Aysar Ahsan,dkk



KARAKTERISTIK RESPONDEN
1. Nama : ………………………………………………………………
2. Umur : …………………………
3. Jenis Kelamin : …………………………
4. Pendidikan : …………………………
















NO PERNYATAAN OPSI PILIHAN
STS TS S SS
1 Saya merasa terkucil jika saya tidak melakukan apa yang dilakukan teman-teman saya.
2 Jika teman-teman menganggap apa yang saya lakukan salah, saya akan menghentikannya walaupun menurut saya itu benar.
3 Saya bisa sangat sedih jika tahu kalau teman-teman tidak menyukai saya.
4 Saya tidak perlu berpura-pura baik bila hanya bertujuan untuk disukai teman-teman.
5 Meniru apa saja yang dilakukan oleh teman-teman akan membuat saya tampak seperti orang bodoh.
6 Menjadi bagian dari kelompok adalah sesuatu penting, tetapi tidak harus berarti harus mengikuti apa saja kemauan mereka.
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Jumat, 04 Juni 2010

PERBUATAN PEMERINTAH YANG TIDAK BERKARAKTER UNDANG-UNDANG
Oleh: Takdir

A. PENDAHULUAN
Pemerintahan yang baik memiliki komitmen yang jelas, bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya bersifat responsif, populis dan visioner dengan selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, dan bukan malah sebaliknya sibuk memikirkan urusan sendiri atau kelompoknya agar tampuk kekuasaannya dapat terus bertahan lebih lama. Karena kalau hal itu yang terjadi, maka segala cara akan ditempuh demi kekuasaan, termasuk perilaku KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) terutama di kalangan para pemimpin dan elit politik menjadi semakin subur dan meluas. Akibatnya di sisi lain kehidupan rakyat menjadi semakin terpuruk, apalagi ditengah-tengah terpaan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Rakyat menjadi kecewa kepada sikap dan perilaku para elit politik dan pemimpinnya yang dianggap tidak peduli lagi terhadap kepentingan rakyat. Yang terjadi kemudian bisa ditebak, rakyat melakukan penolakan dan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Dalam suatu negara demokrasi, apabila jalur dialog dan diplomasi dianggap kurang berhasil, maka tuntutan rakyat kepada penguasa dalam bentuk demonstrasi merupakan salah satu cara yang cukup populer dan efektif dalam upaya menekan dan memperjuangkan suatu tujuan tertentu. Bahkan banyak rezim otoriter di dunia dapat dijatuhkan karena demonstrasi rakyatnya, seperti di Philipina, Korea Selatan dan lain-lain. Kekuasaan Orde Barupun yang bercokol selama lebih 32 tahun, akhirnya runtuh dari panggung kekuasaan politik karena akumulasi desakan rakyat yang antara lain dilakukan melalui demonstrasi.
Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, aksi demonstrasi begitu merebak di berbagai kota di Indonesia terutama dari kalangan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, yaitu menolak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, di antaranya kasus kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), telepon, kasus Freeport di Timika, Blok Cepu yang akhirnya dikuasai pihak Exxon Mobil dan masih banyak kasus-kasus lainnya. Khusus mengenai rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) secara resmi pemerintah akhirnya bersedia juga membatalkan kenaikan tarif dasar listrik paling tidak untuk sementara waktu tahun 2006 ini.
Dalam perspektif hukum, cara-cara yang dibenarkan dalam memperjuangkan hak dan kepentingan adalah cara-cara yang sesuai dengan aturan main dan koridor hukum. Dalam konteks itulah, upaya menolak kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan rakyat banyak, di samping dapat digunakan cara seperti dialog dan demonstrasi, tetapi tidak kalah pentingnya dengan menggunakan cara pendekatan hukum (legal approach). Pendekatan hukum merupakan cara yang relatif lebih proporsional, elegan dan legitimate, dengan tingkat resiko yang minimal dalam menimbulkan jatuh korban, meskipun cara ini umumnya memakan waktu lebih lama. Pendekatan hukum ini juga merupakan sarana justivikasi, yang dapat mendukung dan bersinergi dengan cara-cara lain yang telah ditempuh, untuk “menggoalkan” suatu tujuan.
Apabila yang hendak ditempuh melalui pendekatan hukum, ada beberapa hal yang perlu dikaji dan dicermati lebih lanjut. Pertama, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut termasuk dalam kategori perbuatan administrasi negara yang mana, apakah dituangkan dalam bentuk surat keputusan ataukah dalam bentuk lainnya? Hal ini tentu akan membawa konsekwensi hukum yang berbeda. Kedua, mengingat pada umumnya kebijakan pemerintah tersebut merugikan kepentingan rakyat banyak, langkah atau tuntutan hukum manakah yang paling tepat digunakan? Dalam konteks itulah, tulisan ini berupaya mengkaji dan membahas beberapa permasalahan tersebut.

B. JENIS-JENIS PERBUATAN PEMERINTAH YANG TIDAK BERKARAKTER HUKUM
Perbuatan pemerintah atau administrasi negara yang tidak berkarakter hukum pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi empat macam : a. peraturan kebijakan ; b. rencana (het plan), dan ; c. keputusan TUN (beschikking) d. perbuatan materiil. Dalam melakukan perbuatan tersebut, pemerintah tidak jarang melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian terhadap warga masyarakat.

Dari keempat macam perbuatan pemerintah tersebut, masing-masing mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda.
a. peraturan kebijakan
1. Freies Ermessen
Keberadaan pertauran kebijakan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies Ermessen. Karena itu sebelum menjelaskan peraturan kebijakan terlebih dahulu dikemukakan mengenai freies Ermessen ini.
Dari segi bahasa freies Ermessen berasal dari frei artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies artinya orang bebas, tidak terikat danmerdeka. Sedangkan Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freies Ermessen (diskresionare) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.
Definisilain yang hampir senada diberikan oleh Nana Saputra, yakni suatu kebebasan yang diberikan yang diberikan kepada alat administrasi yaitu kebebasan yang pada asanya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum atau kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan umum.
Menurut Laica Marzuki, freies Ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang kian komplek.
2. Pengertian Peraturan Kebijakan
Dalam penylengaraan tugas-tugas administrasi negara, pemerintah banyak mengeeluarkan kebijaksanaaan yang dituangkan dalalm berbagai bentuk seperti beleidslijnen (garis-garis kebijaksanaan), het beleid (kebijaksanaan) , voorshiften( peraturan-peraturan), richtlijnen (pedoman-pedoman), dan lain-lain. Menurut Philipus M. Hadjon, peraturan kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negarayang bertujuan “naar buiten gebracht schricftelijk beleid” yaitu menempatkan keluar suatu kebijakan tertulis. Peraturan kebijaksanaan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah , karenanya tidak dapat merubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. Menurut P.J.P tak peraturan kebijakan adalah:peraturan kebijaksanan adalah peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintah terhadap warga negara atau terhadap instansi pemerintah lainnya dan pembuat peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung maupun tidk langsung.
3. Ciri-ciri peraturan kebijakan
Bagir manan menyebutkan ciri-ciri peraturan kebijaksanaan sebagai berikut:
a. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan
b. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan.
c. Peraturan kebijaksanan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat keputusan kebijaksanaan tersebut.
d. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan freies Ermessen dan ketiadaan wewenang adminstrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan.
e. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanan lebih diserahkan pada doelmatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak.
f. Dalam praktek diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman dan lain-lain
4. Fungsi peraturan kebijaksanaan
Peraturan kebijakasanaan yang dapat difungsikan secara tepat guna dan berdaya guna sebagai berikut:
a. Tepatguna dan berdaya guna sebagaii sarana pengaturan yang melengkapi, meenyempurnakan, dan mengissi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan p[erundangan-undangan
b. Tepatguna dan berdaaya guna sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut layak, benar, dan adil dalam aturan perundang-undangan.
c. Tepat guna dan berdaya guna sabagai sarana untuk mengatasi kon disi peraturan perundang-undangan yang sudah ketingalan jaman.
d. Tepat guna dan berdaya guna bagi kelancaran pelaksanaan fungsi administrasi negara di bidang pemerintnahan dan pembangunana yang bersifat cepat berfubah atau memerlukan pembaharuan sesuai dnegan situasi dan kondisi yang dihadapi.


b. Rencana (het plan),
1. Pengertian Rencana
Rencana didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penenntuan secara matang dari hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan merupakan fungsi organik pertama dari administrasi dan majemen. Alasannya ialah bahwa tanpa adanya rencana maka tidak ada sesuatu untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka usaha pencapaian tujuan.
Berdasarkan Hukum Administrasi Negara, rencana merupakan bagian dari tindakan hukum pemerintah (Bestuurrechthandeling), suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Rencan adalah keseluruhan tindakan pemerintah yang berkesinambungan, yang mengupayakan terwujudnya suatu keadan tertentu yang teratur. Keseluruhan itu disusun dalam format tindkan hukum administrasi negara sebagai tindakan yang menimbulkan akibat-akibat hukum.
Perencanaan terbagi dalam tiga kategori:
a. Perencanaan informatif (imformatieve planning), yaitu rancangan estimasi mengenai perkembangan masyarakat yang dituangkan dalam alternatif-alternatif kebijakan tertentu.
b. Perencanaan indikatif (indicatieve plannning), yaitu rencana yang memuat kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dan mengindikasikan bahwa kebijakan itu akan dilaksanakan.
c. Perencanaan operasional atau normatif (operationele of normatieve planning), yaitu rencan-rencan yang terdiri dari persiapan-persiapan, perjanjian-perjanjian, dan ketetapan-ketetapan. Rencana tata ruang, rencana pengembangan perkotaan, rencana pembebasan tanah, rencana penguntukan dan lain-lain merupakan contoh-contoh dari rencana operasional atau normatif.
2. Unsur-unsur rencana
Perencanaan merupakan bagian inheren dalam setiap bentuk organisasi. Dengan katalain, setiap organisasi pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai yang sebelumnya dirumuskan dalam rencan-rencana. Dalam prespektif huuk madministrasi negara J.B.J.M. Ten Berge mengemukakan unsur-unsur rencana sebagai berikut:
a. Schriftelijke Presentatie (gambaran tertulis),rencana terutama untuk mengkomunikasikan kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lainnya.
b. Besluit of Handeling (keputusan atau tindakan), penentuan suatu rencana dilukiskn sebagai suatu keputusan atau suatu tindakan.
c. Besturuorgaan (organ pemerintahan), bagi hukum administrasi negara, perfhatian hanya ditujukan pada perencanaan yang dibuat oleh ogan pemerintahan.
d. Po de toekomst greicht (ditujukan pada masa yang akan datang), perencanan dibuat berdasarkan pandangan masa depan dari tindakan pemerintah.
e. Planelemanten (elemen-elemen rencana), pada suatu rencana, sesuai dengan kategori rencana seperti rencana informatif, indikatf atau operasional biasanya didlamnya trkandung informasi rencanan kebijakan yang akan ditempuh terutama dalam bentuk peraturan kebijaksanaan persetujuan kebijaksanaan, pedoman-pedoman, peraturan umum, keputusan kokngkret yang berlaku umum, ketetapan-ketetapan dan perjanjian-perjanjian.
f. Ongelijksoortig karakter (memiliki sifat yang tidak sejenis, beragam), berdasarkan ketentuan peraturan umum diatur mengenai peristiwa –peristiwa tertentu atau kejadian yang sama dengan akibar hukum yang sama sedangkan pada rencana dihimpun berbagai peristiwa atau keadaan yang tidak sama.
g. Samenghang (keterkaitan), keterkaitan ini terutama berkenaan dengan penataan ruang bersama, keterpaduan berbagai komponen, persesuaian tujuan, dan sebagainya.
h. Al dan niet voor een bepaalde duur (untuk waktu tertentu), kebanykaan rencana memiliki waktu terbatas, biasanya ditentukan berdasarkan periode tertentu seperti rencana tahunan, lima tahunan, dan sebagainya.
i.
3. Keputusan tata usaha negara (Beschikking
Istilah beschikking, di Belanda dipopulerkan oleh Van der Pot dan Van Vollenhoven, masuk ke Indonesia dibawa oleh Prins.

Utrecht dan Prof. Boedisoesetya menyalin istilah bescikking tersebut menjadi ketetapan. Kuntjoro Purbohamoto tidak setuju dengan pemakaian istilah ketetapan, alasannya, istilah ketetapan telah mempunyai penggunaan yang formal, yaitu dipakai untuk penamaan putusan MPR. Oleh karena itu Kuntjoro mengusulkan agar digunakan istilah “Keputusan”.
1. Menurut Van der Pot, beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan, pernyataan-pernyataan kehendak alat pemerintahan, dalam menyelenggarakan hal khusus, dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan hubungan hukum.
2. A.M. Donner: adalah suatu perbuatan hukum yang dalam hal istimewa dilakukan oleh suatu alat pemerintahan, berdasarkan suatu ketentuan yang mengikat dan berlaku umum, dengan maksud menentukan hak & kewajiban bagi mereka yang tunduk pada suatu tertib hukum, dan penentuan tersebut diadakan oleh alat pemerintahan dengan tidak sekehendak mereka yang dikenai penetuan itu.
3. Prins : ialah suatu tindak hukum sepihak di bidang pemerintahan, dilakukan oleh alat penguasa berdasarkan kewenangan yang khusus.
4. Utrecht : adalah suatu perbuatan berdasarkan hukum publik, bersegi satu, dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa.
Dari definisi tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud bescikking ialah keputusan administrasi (pemerintah) yang unsur-unsurnya meliputi :
- Tindakan pemerintah dalam bidang hukum publik
- berdasarkan wewenang yang istimewa
- Dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum
- terjadinya perubahan dalam lapangan hukum.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, memberi penamaan untuk sejenis beschikking dengan sebutan Keputusan Tata Usaha Negara. ( KTUN). Pada Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa :
“KTUN ialah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, yang berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, unsur-unsur KTUN sbb:
1. Penetapan tertulis dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
2. Berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara
3. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
4. Bersifat kobngkrit, individuali, dan final.
5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

Kata “tertulis” tersebut tidak dimaksudkan harus memiliki format tertentu, melainkan segala bentuk “hitam di atas putih”, bentuk “nota” pun jadi. Yang penting, dalam tulisan itu memuat tiga hal: pejabat siapa yang mengeluarkan, mengenai sesuatu hal apa, serta siapa subjek yang dikenai.


Syarat Sahnya suatu Ketetapan/Keputusan (Beschikking)

Agar suatu penetapan administrasi (beschikking) sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Suatu Keputusan harus dibuat oleh Badan atau Pejabat yang berwenang. Kewenangan bisa bersumber secara atributif, delegasi, maupun mandat.
2. Harus dibuat dalam bentuk (format) dan prosedur yang ditentukan dalam peraturan dasarnya. Syarat ini terutama dikecualikan terhadap keputusan lisan, yaitu suatu tindakan administrasi yang dipandang tidak begitu penting tetapi sangat mendesak sehingga cukup keputusan itu dibuat dalam bentuk lisan (mondeling).
Contoh : Perintah Polisi Lalu Lintas untuk berhenti kepada seorang pengendara.
3. Dasar kehendak pembuatan suatu keputusan harus tidak mengandung cacat yuiridis.
Misalnya: Karena dasar penipuan; karena paksaan atau ancaman fisik; karena suap atau sogokan; karena kesesatan atau kekeliruan.

Keputusan yang lahir mengandung cacat yuridis tersebut bisa berakibat: keputusan ditarik, dicabut, ataupun dibatalkan.
Dasar pemikiran ini berasal dari azas perdata, bahwa kehendak kedua belah pihak merupakan syarat mutlak bagi suatu persetujuan.
4. Isi dan tujuan suatu keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan dalam peraturan dasarnya. Misalnya, keputusan yang diambil secara “de’ tournement de povoir”.

Undang-unadang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diperbarui dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, tidak menentukan kriteria sahnya suatu keputusan, melainkan menentukan kriteria keputusan yang dapat digugat karena dinilai tidak sah. Bahwa pada dasarnya setiap keputusan tata usaha negara harus dianggap sah (asas rechtmatige) kecuali Pengadilan memutuskan sebaliknya.
Pada Pasal 53 ditentukan, bahw apabila seseorang atau badan hukum perdata merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agar keputusan dimaksud dinyatakan batal atau tidak sah, dengan alasan :
a. Keputusan yang digugat tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
b. Badan/ Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan tersebut telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
c. Badan / Pejabat pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan tersebut setelah mempertimbangkan semua kepentingan tersangkut dengan keputusan itu, seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.


#####


MACAM-MACAM KETETAPAN/KEPUTUSAN (BESCHIKKING)

Dalam beberapa literatur hukum administrasi, jenis, macam, dan bentuk-bentk beschikking ini lebih banyak mengacu pada bukunya E.Utrecht “Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia”, dengan penggolongan sebagai berikut :

a. Ketetapan positif dan ketetapan negatif

1. Ketetapan Positif, ialah ketetapan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban bagi yang dikenai keputusan.
• Ketetapan yang menciptakan keadaan hukum baru
• Ketetapan yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum
• Ketetapan yang memberikan beban/kewajiban
• Yang memberikan keuntungan.

2. Ketetapan negatif, ialah ketetapan yang pada prinsipnya tidak menimbulkan/melahirkan keadaan hukum baru.
• Ketetapan yang berisi penolakan dari suatu permohonan
• Ketetapan yang berisi pernyataan tidak berwenang
• Ketetapan yang berisi pernyataan tidak diterima, dsb.

b. Ketetapan deklarator dan konstitutif
• Ketetapan deklarataor ialah yang hanya menyatakan tentang hukumnya sesuatu. Jadi dalam ketetapan jenis ini tidak ada yang perlu dan bisa dilaksanakan (executive).
• Ketetapan konstitutif yaitu ketetapan yang menimbulkan hak baru, dimana hak baru tersebut sebelumnya tidak dijumpai oleh orang yang namanya disebut dalam ketetapan itu. Contoh: Ketetapan mengenai pembentukan suatu kepanitiaan.

c. Ketetapana kilat dan ketetapan yang tetap

• Ketetapan kilat ialah ketetapan yang tugas, fungsi, dan masa berlakunya hanya sesaat, yaitu pada masa saat dikeluarkannya ketetapan tersebut.
Dikatakan oleh Prins: “Dalam perpustakaan sering ada disebut-sebut ketetapan yang pada saat dikeluarkannya, selesai pula sekali keperluannya.” Ketetapan yang demikian ini dikatakan bersifat “eInmalige”.
Contoh: 1. Ketetapan yang menarik kembali suatu keketapan yang sudah ada.
2. Ketetapan yang maksudnya merubah teks dan redaksi dari suatu keketapan yang telah dikeluarkan.
1. IMB , Karcis Bioskop.

• Ketetapan yang tetap : Ketetapan yang masa berlakunya untuk jangka waktu yang lama atau terus-menerus hingga ditarik kembali atau habis masa berlakunya.
Contoh : SIM, Ketetapan menegenai orang /benda.

d. Beberapa bentuk keputusan (beschikking) yang menguntungkan : Izin, Dispensasi, Lisensi, dan Konsesi, yang sering disebut perizinan.
PERBUATAN-PERBUATAN PEMERINTAH

BESTUURSHANDELING

Feitelijke Handeling Rechtelijke Handeling

Public Rechtelijke Privat Rechtelijke



Regeling daad Beschikking daad


Pengertian

Administrasi atau Administrasi Negara sebagai Badan Hukum adalah subjek hukum yang dapat melakukan suatu tindakan atau perbuatan tertentu. Dalam literatur Belanda, perbuatan administrasi itu disebut Bestuurshandeling.
Menurut Van Vollenhoven, Bestuurshandeling adalah tindakan penguasa tinggi maupun rendahan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri.
Sementara menurut Romeyn, Bestuurshandeling diartikan sebagai tiap tindakan atau perbuatan dari suatu alat pelengkapan pemerintahan, termasuk tindakan di luar lapangan hukum tata pemerintahan.
Sedangkan menurut Komisi Van Poelje, Bestuurshandeling diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan.
Dari pendapat para sarjana tersebut dapat disimpulkan, bahwa Bestuurshandeling secara umum berarti keseluruhan tindakan, perbuatan, dan ataupun keputusan yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan (bestuursorganen) dalam rangka pelaksanaan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan pemerintahan.

######


Perbuatan Administrasi (Bestuurshandeling) dapat dipilah atas perbuatan nyata (feitelijke handeling) dan perbuatan hukum (rechtelijhe handeling).
Feitelijke handeling menurut Utrecht ialah “Perbuatan yang bukan perbuatan hukum”. Menurut Kuntjoro Poerbopranoto: “tindak pemerintah yang berdasarkan fakta”. Sementara menurut Djenal Hoesen Koesoemahatmaja : “Tindakan administrasi negara yang bukan merupakan tindakan hukum”.
Contoh : - Tindakan menutup suatu jalanan
- Peresmian suatu bangunan
- Pembongkaran suatu bangunan
- Pemasangan papan nama suatutempat, dsb.

Semua jenis tindakan tersebut merupakan tindakan nyata (harfiah) dan bukan tergolong sebagai perbuatan hukum dari administrasi (rechtstelijke handeling van Administratie).
Menurut P. de Haan, perbedaan utama antara Rechtelijke handeling dengan Feitelijke handeling terletak pada ada tidaknya akibat hukum yang dilahirkan dari perbuatan tersebut. Feitelijke Handeling tidak dimaksudkan untuk melahirkan akibat hukum, sedangkan dalam Rechtelijke handeling, dari semula dimaksudkan untuk melahirkan akibat hukum.
Terhadap pendapat P. de Haan ini, A. M. Donner memberi catatan khusus, bahwa beberapa bentuk feitelijke handeling dapat menimbulkan akibat hukum. Misalnya, pemasangan papan nama jalan; pengukuran tanah partikelir guna pembangunan gedung-gedung pemerintah; pembongkaran rumah warga karena sesuatu hal; dsb. Bukan tidak mungkin seseorang warga mengalami kerugian berkenaan dengan perbuatan nyata dari administrasi negara tersebut. Bahkan bisa jadi perbuatan tersebut merupakan perbuatan penguasa yang melanggar hukum (onrecitmatige overheidsdaat).
######

Perbuatan hukum dari administrasi negara (Rechtelijke Handeling van administratie) dapat terjadi dalam dua lapangan hukum, yaitu lapangan hukum publik (public rechtelijke) dan lapangan hukum privat (private rechtelijke).
 Sebagai pelaku hukum publik (Public Actor) Badan atau Pejabat Administrasi Negara memiliki hak dan wewenang istimewa untuk menggunakan dan menjalankan kekuasaan publik. Berdasarkan kekuasaan publik tersebut, badan atau pejabat administrasi negara dapat secara sepihak menetapkan pelbagai peraturan dan keputusan yang mengikat warga, serta meletakkan hak dan kewajiban tertentu, dan karena itu menimbulkan akibat hukum bagi mereka.
Pelaksanaan wewenang istimewa dari administrasi negara tersebut tetap berada pada koridor dan rambu-rambu hukum yang berlaku. Artinya, tidak boleh dilaksanakan secara melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku (onrechtmatige overheidsdaad), penyalahgunaan wewenang (de’tournement de pouvoir), ataupun secara sewenang-wenang (daad van willekeur).
 Selaku badan hukum ( Rechtsperson), badan atau pejabat administrasi negara mengikatkan diri pada pelbagai perjanjian kependataan, misalnya: Jual beli, sewa-menyewa, perjanjian perborongan, dan bahkan penghibahan. Perbuatan-perbuatan hukum tersebut jika dilakukan oleh suatu badan atau pejabat administrasi negara, tidak diatur berdasar hukum publik, melainkan didasarkan pada peraturan perundang-undangan hukum perdata biasa.
Sifat dasar dari perbuatan hukum perdata ialah, bahwa kedudukan para pihak adalah sama dan sedarajad, tidak ada yang berkedudukan istimewa antara yang satu dengan/atau terhadap yang lain, karena itu tidak ada yang bisa melakukan paksanaan.
Di Belanda, dasar hukum keikutsertaan pejabat dalam perbuatan hukum perdata disebutkan pada Pasal 1 buku 2 BW (baru) :
“Apabila Badan Hukum Publik ikut serta dalam hubungan hukum keperdataan, maka dia tidak bertindak sebagai penguasa, sebagai organisasi kekuasaan, tetapi dia menggunakan hak-hak pada kedudukan yang sama dengan rakyat. Badan-badan tersebut pada dasarnya tunduk pada peradilan biasa seperti halnya rakyat biasa”.

#####

Perbuatan hukum dari administrasi negara dalam bidang hukum publik dapat berupa pengaturan umum ( regeling daad) atau aturan, dan penetapan atau keputusan (beschikking daad ).

Perbedaan antara peraturan (Regeling) dengan penetapan/keputusan (beschikking) dapat digambarkan sebagai berikut :
2. Peraturan (Regel) sifatnya umum, mengatur secara umum, dan mengikat kepada umum (publik). Untuk menuangkan hal yang umum tersebut ke dalam peristiwa-peristiwa kongkret/nyata, masih perlu dikeluarkan penetapan-penetapan khusus dari pejabat berwenang. Dalam penetapan khusus tersebut tercantum secara tegas hal yang kongkret dan jelas individualnya.
3. Pada saat peraturan dibuat, tidak diketahui subjek siapa yang bakal dikenai peraturan tersebut. Tidak boleh suatu peraturan dibuat dengan sengaja ditujukan kepada orang-orang tertentu (subjektif), baik sifatnya menguntungkan maupun merugikan. Suatu peraturan dibuat didasarkan pada suatu permasalahan publik (objek), dengan maksud memecahkan permasalahan tersebut (problem solving). Karena itu sifat perturan adalah objektif. Jika peraturan dibuat dengan sengaja diperuntukkan bagi orang tertentu, maka itu termasuk kejahatan hukum atau kejahatan dalam hukum.
4. Sedangkan penetapan atau keputusan beschikking, pada saat dibuat sudah diketahui subjek yang bakalan dikenai. Bahkan dengan sengaja penetapan itu dikeluarkan karena adanya subjek yang hendak dikenakai tersebut.

Contoh: I. ”Tunjangan Walikota ... adalah Rp 8.000.000,00 (Delapan juta rupiah) per bulan”

II. Si Fulan, Walikota ... diberi tunjangan Rp 8.000.000,00 (Delapan juta rupiah).

Pada contoh I merupakan materi kalimat yang bersifat mengatur atau aturan (regeling). Disini sifatnya umum, tidak disebutkan, bahkan belum diketahui subjek walikota yang bakal menerima tunjangan itu, sehingga siapapun (nantinya) yang menduduki jabatan tersebut, maka akan menerima tunjangan itu.
Pada contoh II merupakan materi keputusan (beschikking). Di sini telah jelas individu siapa yang menerima tunjangan sebagai Walikota, yaitu Si Fulan. Kalimat II itu merupakan implementasi dari kalimat I.

Dalam praktek kadang dijumpai adanya suatu penetapan dari pejabat administrasi negara (beschikking) yang tenyata juga mempunyai sifat berlaku umum, sebab, hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dapat menjadi beban bagi orang lain.

Contoh : Dengan ditetapkannya suatu kawasan tertentu sebagai daerah kubu pertahanan atau tempat latihan militer, atau kawasan hijau (green space) maka akan membawa konsekuensi bahwa lokasi itu dan kawasan sekitarnya pada radius tertentu, harus dikosongkan. Artinya para pemukimnya harus segera dipindahkan.

Untuk melaksanakan proses pemindahan penduduk tersebut, harus diterbitkan lagi penetapan khusus oleh pejabat yang berwenang yang menunjuk kepada individu –individu yang akan dipindahkan.
#####
Dalam praktek pemerintahan, sering dijumpai pemaknaan regeling daad secara bercampur aduk serta tidak ada konsistensi. Kadang kata “Keputusan” digunakan untuk makna regeling, kadang pula untuk makna beschikking.
Dalam lingkup jajaran Departemen Dalam Negeri pernah ditertibkan pemakaian kata untuk makna tindak pemerintahan tersebut. Suatu tindakan pejabat administrasi yang materinya bersifat mengatur (regeling daad), memuat suatu aturan, disebut “Keputusan”. Misalnya: Keputusan Menteri Dalam Negeri, Keputusan Dirjen ... , Keputusan Gubernur, dsb. Sedangkan untuk tindakan pejabat administrasi yang memuat materi penetapan (beschikking daad) digunakan sebutan “Surat Keputusan (SK)”. SK pejabat ini memiliki sifat yang dalam UU Peratun disebutkan : konkret, individual, final, dan menimbulkan akibat hukum bagi yang dikenainya.
Upaya Departemen Dalam Negeri itu belum tersosialisasi secara luas, sehingga belum banyak membuahkan hasil. Para sarjana hukum maupun praktisi pemerintahan, untuk sebagian besar, tampaknya telanjur mapan dan terbelenggu dengan paradigma yang rancu itu.
Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia” mengusulkan pemakaian kata Peraturan untuk regeling, Ketetapan untuk beschikking, dan Keputusan untuk putusan peradilan, baik peradilan murni (kontensius), maupun peradilan semu (quasi).

Alasan Jimly, Peraturan dari dasar kata “atur” mengandung sifat publik (yang diatur) sehingga tepat dengan makna regels. Ketetapan dari kata dasar “tetap” berarti ingin menetapkan atau mengukuhkan sesuatu, atau merubah sesuatu secara tetap. Hal ini sangat tepat dengan makna beschikking sebagai tindakan administrasi. Sementara itu untuk Keputusan dengan kata dasar “putus”, berarti mengandung maksud memutus atau memecahkan masalah (problem solving), karena itu sangat tepat untuk tindakan peradilan (yudisial) atau lembaga administrasi yang memiliki fungsi mengadili (adversarial).

#####
BESCHIKKING

Pengertian

Istilah beschikking, di Belanda dipopulerkan oleh Van der Pot dan Van Vollenhoven, masuk ke Indonesia dibawa oleh W.F. Prins.

Utrecht dan Prof. Boedisoesetya menyalin istilah bescikking tersebut menjadi ketetapan. Kuntjoro Purbohamoto tidak setuju dengan pemakaian istilah ketetapan, alasannya, istilah ketetapan telah mempunyai penggunaan yang formal, yaitu dipakai untuk penamaan putusan MPR. Oleh karena itu Kuntjoro mengusulkan agar digunakan istilah “Keputusan”.

5. Menurut Van der Pot, beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan, pernyataan-pernyataan kehendak alat pemerintahan, dalam menyelenggarakan hal khusus, dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan hubungan hukum.
6. A.M. Donner: beschikking adalah suatu perbuatan hukum yang dalam hal istimewa dilakukan oleh suatu alat pemerintahan, berdasarkan suatu ketentuan yang mengikat dan berlaku umum, dengan maksud menentukan hak & kewajiban bagi mereka yang tunduk pada suatu tertib hukum, dan penentuan tersebut diadakan oleh alat pemerintahan dengan tidak sekehendak mereka yang dikenai penentuan itu.
7. W.F. Prins : beschikking ialah suatu tindak hukum sepihak di bidang pemerintahan, dilakukan oleh alat penguasa berdasarkan kewenangan yang khusus.
8. Utrecht : beschikking adalah suatu perbuatan berdasarkan hukum publik, bersegi satu, dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa.

Dari definisi tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud beschikking ialah keputusan administrasi (pemerintah) yang unsur-unsurnya meliputi :
- Tindakan pemerintah dalam bidang hukum publik
- berdasarkan wewenang yang istimewa
- Dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum
- terjadinya perubahan dalam lapangan hukum.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, memberi penamaan untuk sejenis beschikking dengan sebutan Keputusan Tata Usaha Negara. ( KTUN). Pada Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa :
“KTUN ialah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, yang berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, unsur-unsur KTUN sbb:
6. Penetapan tertulis dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
7. Berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara
8. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
9. Bersifat kongkret, individuali, dan final.
10. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
Kata “tertulis” tersebut tidak dimaksudkan harus memiliki format tertentu, melainkan bisa segala bentuk “hitam di atas putih”, bentuk “nota” pun jadi, yang penting memuat tiga hal: pejabat yang mengeluarkan, mengenai sesuatu hal yang jelas, serta jelas subjek yang dikenai.

Syarat Sahnya suatu Ketetapan/Keputusan (Beschikking)
Agar suatu penetapan administrasi (beschikking) sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat, maka harus dipenuhi syarat-syarat, yang dalam literatur (teori-teori) dikenal sebagai berikut sebagai berikut :

5. Suatu Keputusan harus dibuat oleh Badan atau Pejabat yang berwenang. Kewenangan bisa bersumber secara atributif, delegasi, maupun mandat.
Sebenarnya mandat bisa disebut bukan sebagai sumber kewenangan, dalam arti, pada mandat itu tidak melahirkan kewenangan baru bagi pemegang mandat (mandataris), sebab yang besangkutan bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (wewenang)
6. Harus dibuat dalam bentuk (format) dan prosedur yang ditentukan dalam peraturan dasarnya. Syarat ini terutama dikecualikan terhadap keputusan lisan, yaitu suatu tindakan administrasi yang dipandang tidak begitu penting tetapi sangat mendesak sehingga cukup keputusan itu dibuat dalam bentuk lisan (mondeling).
Contoh : Perintah Polisi Lalu Lintas untuk berhenti kepada seorang pengendara.
7. Dasar kehendak pembuatan suatu keputusan harus tidak mengandung cacat yuiridis.
Misalnya: Karena dasar penipuan; karena paksaan atau ancaman fisik; karena suap atau sogokan; karena kesesatan atau kekeliruan.

Keputusan yang lahir mengandung cacat yuridis tersebut bisa berakibat: keputusan ditarik, dicabut, ataupun dibatalkan.
Dasar pemikiran ini berasal dari azas perdata, bahwa kehendak kedua belah pihak merupakan syarat mutlak bagi suatu persetujuan.
8. Isi dan tujuan suatu keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan dalam peraturan dasarnya. Misalnya, keputusan yang diambil secara “de’ tournement de povoir”.

Undang-unadang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diperbarui dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, tidak menentukan kriteria sahnya suatu keputusan, melainkan menentukan kriteria keputusan yang dapat digugat karena dinilai tidak sah.

Pada Pasal 53 ditentukan, bahw apabila seseorang atau badan hukum perdata merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agar keputusan dimaksud dinyatakan batal atau tidak sah, dengan alasan :
d. Keputusan yang digugat tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Keputusan yang digugat tersebut bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah meliputi asas: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya setiap keputusan tata usaha negara harus dianggap sah (asas rechtmatige) sampai Pengadilan memutuskan sebaliknya.
Konsekwensi dari asas rechmatige bahwa gugatan ke peradilan tata usaha negara tidak menangguhkan pelaksanaan dari KTUN yang digugat tersebut.
#####

MACAM-MACAM KETETAPAN/KEPUTUSAN (BESCHIKKING)

Dalam beberapa literatur hukum administrasi, jenis, macam, dan bentuk-bentk beschikking ini lebih banyak mengacu pada bukunya E.Utrecht “Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia”, dengan penggolongan sebagai berikut :
e. Ketetapan positif dan ketetapan negatif
1. Ketetapan Positif, ialah ketetapan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban bagi yang dikenai keputusan.
• Ketetapan yang menciptakan keadaan hukum baru
• Ketetapan yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum
• Ketetapan yang memberikan beban/kewajiban
• Yang memberikan keuntungan.

2. Ketetapan negatif, ialah ketetapan yang pada prinsipnya tidak menimbulkan/melahirkan keadaan hukum baru.
• Ketetapan yang berisi penolakan dari suatu permohonan
• Ketetapan yang berisi pernyataan tidak berwenang
• Ketetapan yang berisi pernyataan tidak diterima, dsb.

f. Ketetapan deklarator dan konstitutif
• Ketetapan deklarataor ialah yang hanya menyatakan tentang hukumnya sesuatu. Jadi dalam ketetapan jenis ini tidak ada yang perlu dan bisa dilaksanakan (executive).
• Ketetapan konstitutif yaitu ketetapan yang menimbulkan hak baru, dimana hak baru tersebut sebelumnya tidak dijumpai oleh orang yang namanya disebut dalam ketetapan itu.
Contoh: Ketetapan mengenai pembentukan suatu kepanitiaan.

g. Ketetapana kilat dan ketetapan yang tetap
• Ketetapan kilat ialah ketetapan yang tugas, fungsi, dan masa berlakunya hanya sesaat, yaitu pada masa saat dikeluarkannya ketetapan tersebut.
Dikatakan oleh Prins: “Dalam perpustakaan sering ada disebut-sebut ketetapan yang pada saat dikeluarkannya, selesai pula sekali keperluannya.” Ketetapan yang demikian ini dikatakan bersifat “eInmalige”.
Contoh: 1. Ketetapan yang menarik kembali suatu keketapan yang sudah ada.
2. Ketetapan yang maksudnya merubah teks dan redaksi dari suatu keketapan yang telah dikeluarkan.
3. IMB , Karcis Bioskop.
• Ketetapan yang tetap : Ketetapan yang masa berlakunya untuk jangka waktu yang lama atau terus-menerus hingga ditarik kembali atau habis masa berlakunya.
Contoh : SIM, Ketetapan menegenai orang /benda.
4. Beberapa bentuk keputusan (beschikking) yang menguntungkan : Izin, Dispensasi, Lisensi, dan Konsesi, yang sering disebut perizinan.

PERIZINAN

Secara umum, izin ialah persetujuan dari pejabat administrasi (penguasa) yang diberikan kepada orang / badan hukum atas sesuatu perbuatan, tindakan, atau keadaan hukum tertentu, berdasarkan syarat-syarat tertentu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Instrumen perizinan banyak dipergunakan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan, paling tidak memiliki tiga peran atau fungsi: fungsi pengendali (sturen), fungsi anggaran (budgetter), dan fungsi perlindungan hukum (protection).
Pemerintah menggunakan perizinan sebagai sarana hukum (instrumen yuridis) untuk mengendalikan/ mempengaruhi tingkah laku para warga agar tindakan dan kegiatannya senantiasa mengikuti dan bersesuaian dengan tata cara dan tata pola yang dianjurkan penguasa. Dengan instrumen itu ada tujuan tertentu yang akan dicapai. Dalam setiap izin yang dikeluarkan pejabat, selalu didasarkan pada persyartan yang ketat. Pada syarat-syarat itulah tujuan izin disandarkan.

Bahwa tidak dapat disangkali, suatu izin yang dikeluarkan oleh pejabat administrasi selalu diikuti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.

Suatu kegiatan dan/atau keadaan yang telah mendapat persetujuan (izin) dari pejabat administrasi negara, berarti kegiatan dan/atau keadaan itu telah sah, yang dengan demikian berhak mendapat perlindungan hukum dari pemerintah dari kemungkinan segala gangguan, dari manapun dan oleh siapapun.

1. Izin (vergunning) yang menjadi inti persoalan dalam izin ini, bukan sesuatu perbuatan itu berbahaya bagi umum, malainkan bemacam-macam usaha yang pada hakekatnya tidak berbahaya, tetapi behubung dengan satu dan lain sebab, dianggap baik untuk diawasi oleh Administrasi Negara. Jadi yang diatur dalam izin ini, bahwa secara umum perbuatan itu tidak dilarang, asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan persyaratan yang berlaku.
Contoh : Melalui IMB seseorang yang mendirikan suatu bangunan perlu diawasi oleh pemerintah agar bangunan tersebut memenuhi syarat keindahan lingkungan, keindahan kota, kebersihan, kesehatan, dan keselamatan.

2. Dispensasi : adalah suatu tindakan pejabat Administrasi yang menetapkan bahwa suatu peraturan hukum tidak berlaku terhadap satu persoalan tertentu berdasarkan pertimbangan yang khusus untuk peristiwa itu.
Menurut Krananburg-Vegting, dispensasi itu merupakan suatu kondisi terhadap peraturan yang bersifat umum. Sebab, ada kalanya suatu perbuatan atau keadaan mempunyai sifat yang istimewa sehingga dapat menimbulkan akibat yang tidak menguntungkan jika dilaksanakan sesuai aturan tersebut. Jadi dispensai itu justru merupakan sarana untuk menghilangkan akibat-akibat yang tidak diharapkan itu.
Dalam hal dispensasi, peristiwa yang diberi dispensasi itu harus terbatas/ tertentu, maka bagi izin sebaliknya bahwa hal-hal yang tidak diizinkan harus terbatas.
Menurut Prayudi, Dispensasi beranjak dari ketentuan yang pada dasarnya melarang suatu perbuatan tetapi untuk dapat melakukannnya disyaratkan prosedur tertentu harus dilalui.
h. Lisensi : ialah izin yang diberikan terhadap sutau kegiatan yang bersifat komersial dan medatangkan laba. Dengan lisensi ini suatu legiatan usaha menjadi leluasa tanpa ada gangguan dari manapun termasuk dari pemerintah.
i. Kosensi : ialah izin yang diberi kepada pihak swasta untuk melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah.

Freies Ermessen dan Peraturan Kebijakan (Beleidsregels)
Dari kata Freies yang berarti orang yang bebas, lepas, atau merdeka, dan ermessen yang berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan meperkirakan. Freies Ermessen berati kebebasan atau kemerdekaan yang diberikan kepada pejabat Administrasi Negara untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan secara cepat dan tepat terhadap sesuatu persoalan yang kongkret.
Salah satu produk dari freies ermessen ialah apa yang sering disebut dengan Peraturan Kebijakan (Beleidsregels). Di sini badan atau pejabat administrasi negara merumuskan kebijaksanaannya dalam pelbagai bentuk “juridische regels” seperti: peraturan pedoman, pengumuman, surat edaran, dsb.
PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI
Hal ini merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan (besturen), dengan ciri utama adanya suatu paksaan (dwang), yang lebih dikenal dengan “Sanksi”
Menurut P. de Haan : Penegakan hukum administrasi sering diartikan sebagai penerapan sanksi administrasi. Terdapat empat hal utama yang berkaitan dengan penegakan hukum administrasi :
1. Legitimasi kewenangan
Hal ini menyangkut wewenang dalam melakukan pengawasan dan penerapan sanksi. Bahwa penegakan hukum (administrasi) harus dilakukan oleh pejabat (instansi) yang memang oleh perundang-undangan diberi wewenang untuk itu. Penting diperhatikan, bahwa wewenang itu tidak boleh didelegasikan atau dimandatkan kepada pihak partikelir (swasta).

2. Instrumen Yuridis
Dalam hal ini menyangkut jenis dan bentuk sanksi administrasi yang dapat diterapkan oleh pejabat administrasi.
Dalam kepustakaan administrasi dikenal jenis-jenis sanksi administrasi sebagai berikiut:
- Paksanaan pemerintahan/nyata (Bestuursdwang)
- Uang paksa (dwangsom)
- Denda administrasi
- Penutupan kegiatan usaha
- Pencabutan izin
- Bentuk-bentuk khusus

Paksaan pemerintahan : ialah suatu tindakan nyata dari aparat pemerintah yang dimaksudkan untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula dari apa yang sedang/telah dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban yang ditentukan dalam perundang-undangan. Dalam praktek, paksaan pemerintahan ini merupakan yang dominan.
Uang paksa dikenakan sebagai alternatif dari paksaan pemerintahan
Denda administrasi bersifat Condemnatoir, yang peting di sini ialah soal kewenangan pemberi sanksi dan adanya ketentuan denda maksimal.
Mengenai pencabutan izin, wewenang ini senantiasa melekat pada pejabat/instansi pemberi izin itu sendiri.
3. Norma Hukum Administrasi
Wewenang penerapan sanksi administrasi pada dasarnya memiliki sifat “discretionary power”. Pemerintah diberi wewenang untuk mempertimbangkan atau menilai apakah wewenang tersebut perlu digunakan.
Dapat saja pemerintah tidak menggunakan wewenang tersebut dengan alasan: tidak ekonomis, efeknya lebih negatif, tidak memadai untuk dipaksa, dsb.
Tetapi wewenang ini tidak didasarkan atas sesukanya, melainkan pada suatu norma pemerintahan, baik tertulis maupun tidak tertulis, misalnya ABB.

4. Kumulasi sanksi, baik secara internal maupun eksternal


#####



#####



C. KESIMPULAN

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..



DAFTAR PUSTKA

- Amran Muslimin, 1985. Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi. Alumni, Bandung
- Philipus M. Hadjon dkk. 2002. Pengantar ukum Administrasi Negara. Gajah Mada Universiti Press
- Ridwan, HR, 2002. Hukum Adminstrasi Negara. UII Perss. Yogyakarta
- Ridwan, HR, 2006. Hukum Administrasi Negara. PT. Grafindo Persada
- Sjachran Basah, 1985. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peraadilan Administrasi Di Indonesia. Alumni Bandung
- ST. Marbun, Muh. Mahfud MD, 2000. Pokokpokok Hukum Administrasi Negara. Liberty. Yogyakarta.
- Safri Nugraha Dkk.2007. Hukum administrasi Negara. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.